Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah di India dan Indonesia

 


Kepoen.com-Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah di India dan Indonesia-Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu tarekat yang memiliki penyebaran luas, terutama di wilayah Asia (Hadi, 2011).

 

Tarekat ini pertama kali didirikan di Asia Tengah dan kemudian meluas ke berbagai wilayah seperti Samarkand, Harat, Turkistan, Suriah, Afghanistan, Cina, Iran, Buluchistan, dan India. Bahkan, tarekat ini sampai menyebar ke Indonesia (Farhan, 2014). Pada kesempatan ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di India dan Indonesia.

 

a. Perkembangan di India

Tarekat Naqsyabandiyah diperkirakan mulai masuk ke India setelah negara itu ditaklukkan oleh Barbur, pendiri kerajaan Mughol pada tahun 1526 M. Bahkan, raja Barbur sendiri dan pasukannya merupakan pengikut dari Tarekat Naqsyabandiyah.

 

Setelah wafatnya 'Ubaidallah Ahrar pada tahun 1490 M, beberapa khalifahnya segera mengikuti pasukan penakluk ke India. Seiring berjalannya waktu, terjadi migrasi kaum Naqsyabandiyah dari Asia Tengah ke India, dan salah satunya adalah Muhammad Baqi Billah (Bruinessen, 1992).

 

Tarekat Naqsyabandiyah mulai berkembang pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi Billah (w. 1603 M). An-Naqsyabandi pernah menyatakan, seperti yang dikutip dalam buku Sri Mulyati, bahwa ia membawa keberkahan tarekat dari Samarkand dan Bukhara ke India. Ia dengan sepenuh hati memperkenalkan prinsip-prinsip tarekat Naqsyabandiyah dan metode latihannya kepada orang awam maupun kaum bangsawan Mughol.

 

Dalam waktu singkat, ia menghabiskan waktu di India dengan menyebarkan pesan silsila kepada para ulama, sufi, tuan tanah, dan pejabat dengan tingkat keefektifan yang sama dalam mengenalkan tarekat Naqsyabandiyah. Setelah itu, ia menunjuk muridnya, Ahmad Faruqi Sirhindi, untuk memainkan peran utama dalam kehidupan keagamaan dan, sejauh tertentu, kehidupan politik di India.

 

Ahmad Sirhindi adalah seorang ulama dan sufi yang sangat terpelajar yang telah mencapai derajat spiritual yang tinggi. Ia terkenal karena reformasi tertentu yang dilakukannya dalam tarekat Naqsyabandiyah. Sebelum tahun 1600 M, Ahmad Sirhindi menulis risalah pertamanya yang menunjukkan ketidaksetujuannya dan rekan-rekannya terhadap Sufisme Syiah. Ia pernah dipenjara di Gwalior untuk beberapa waktu, tetapi kemudian dibebaskan pada tahun 1620 M. Empat tahun setelahnya, ia meninggal dunia.

 

Pembaruan tersebut kemudian mengalami perkembangan yang signifikan dengan munculnya era baru dalam perjalanan tarekat ini yang dikenal dengan sebutan al-Mujaddidiyah. Nama ini diambil dari Syekh Ahmad al-Sirhindi al-Mujaddid Alf al-Sani (pembaruan kedua dalam seribu tahun).

 

Selama dua abad, para pengikut tarekat ini mengadopsi nama al-Mujaddidiyah. Shaykh Ahmad al-Sirhindi bersama putranya, Muhammad Ma'sum, mengangkat dua khalifah di Makkah dan Madinah, yaitu Ahmad Jurullah Juryani dan 'Abd al-Hayy.

 

Namun, khalifah Naqsyabandiyah yang dianggap paling berjasa dan terkenal dalam mengembangkan ajaran tarekat ini di Makkah dan Madinah adalah Ghulam 'Ali atau yang dikenal juga sebagai Shaykh 'Abd Allah Dihlawi (w. 1824 M).

 

Kemudian, tarekat Naqsyabandiyah mengalami perkembangan baru di bawah pengaruh Mawlana al-Kudri al-Baghdadi (w. 1827 M), salah satu murid terkenal dari khalifah Ghulam 'Ali. Beliau memainkan peran penting dalam perkembangan tarekat ini, sehingga para pengikutnya dikenal sebagai pengikut Khalidiyah dalam silsilah Naqsyabandiyah. Hingga saat ini, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah masih dikenal dan terus berkembang.

 

b.      Penyebaran di Indonesia

 

Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia terutama terjadi pada abad ke-19 M. Tarekat ini mulai dikenalkan oleh para pelajar Indonesia yang belajar di Makkah serta oleh jamaah haji. Namun, sebenarnya tarekat ini telah ada di Indonesia sejak jauh sebelumnya.

 

Salah satu ulama dan sufi Indonesia yang pertama kali menyebutkan tarekat ini dalam tulisan-tulisannya adalah Syekh Yusuf Makassar (1626-1699 M). Syekh Yusuf al-Makasari merupakan tokoh yang memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara.

 

Dalam bukunya, Safinah al-Najah, Syekh Yusuf al-Makasari menyampaikan bahwa ia menerima ijazah dari Syekh Muhammad 'Abd al-Baqi di Yaman dan mempelajari tarekat ketika berada di Madinah di bawah bimbingan Syekh Ibrahim al-Kurani. Syekh Yusuf terkenal sebagai tokoh, pejuang, dan ulama besar di Sulawesi Selatan, serta sebagai pembawa ajaran sufistik yang sejalan dengan tarekat Naqsyabandiyah.

 

Meskipun ia menyebut gurunya sebagai seorang syekh tarekat Syattariyah, Syekh Yusuf belajar kepada berbagai guru lain di Makkah, Madinah, dan bahkan melakukan perjalanan hingga Damaskus. Dalam karyanya, Safinah al-Najatia, ia juga menyebut nama-nama guru-guru dalam tarekat-tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba'alawiyah, dan Khalwatiyah.

 

Sebagai guru Naqsyabandiyah utamanya, ia menyebut Abu 'Abdallah Muhammad al-Baqi al-Mizjaji al-Yamani yang bermukim di Nuhita, Yaman. Syekh ini merupakan khalifah dari seorang Naqsyabandi terkemuka di India, Taj al-Din Zakarya (w. 1642 M). Dalam beberapa tulisannya yang dikutip oleh Martin Van Bruinesen, Syekh Yusuf juga menyebut gurunya Ibn Syekh al-Kabir, yang merupakan murid dari Taj al-Din Azzakaryah.

 

Dari karya-karya tersebut, dapat disimpulkan bahwa silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang dianut oleh Syekh Yusuf al-Makasari berasal dari jalur India. Hal ini terkait dengan hubungan antara Taj al-Din Zakarya sebagai guru dari gurunya Syekh Yusuf al-Makasari, yang berlanjut melalui jalur Muhammad Baqi Bi'lah dari Asia Tengah.

 

Selain itu, dalam buku "Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara" karya Hawash Abdullah, disebutkan bahwa Syekh Yusuf al-Makasari menerima tarekat Naqsyabandiyah langsung dari Syeikh Muhammad Baqi Billah al-Lahore. Silsilahnya menunjukkan bahwa tarekat Naqsyabandiyah yang dianut oleh Syekh Yusuf al-Makasari berasal dari Syekh Muhammad Baqi Billah al-Lahore.

 

Syekh Yusuf menerima tarekat tersebut melalui Maulana Khaujani al-Amkani, yang menerima dari Syekh Darwis Muhammad, yang kemudian menerima dari Syekh Muhammad Zahid. Selanjutnya, Syekh Muhammad Zahid menerima ajaran dari Syekh Muhammad Ubaidillah Ahrari as-Samarkandi, yang menerima dari Syekh Ya'qub al-Jarkhi al-Khashari.

 

 

 Syekh Ya'qub al-Jarkhi al-Khashari menerima ajaran dari Syekh Muhammad Alaudin al-Thari, dan akhirnya silsilah ini mencapai pendiri tarekat Naqsyabandiyah sendiri, yaitu Syekh Bahauddin an-Naqsyabandi.

Dengan demikian, penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia memiliki keterkaitan dengan perjalanan spiritual Syekh Yusuf al-Makasari yang melibatkan berbagai guru dari berbagai tarekat, termasuk Naqsyabandiyah.

 

Dalam konteks ini, Syekh Yusuf al-Makasari memiliki peran penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, dan pemahaman serta pengajaran tasawufnya yang sesuai dengan ajaran tarekat ini telah memberikan pengaruh yang luas di Sulawesi Selatan.

 

Penting untuk mempelajari dan memahami secara mendalam serta menyeluruh mengenai perjalanan dan penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, termasuk peran tokoh-tokoh seperti Syekh Yusuf al-Makasari, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh tentang nilai-nilai tasawuf dan perkembangan tarekat ini di tanah air.

 

Rujukan:

 

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1930,

 

Anwar, Rasihon dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.

 

Aziz, A. Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawuf, Surabaya: Imtiyaz, 2011.

 

Burdah, Ibnu dan Shohifullah, Jenjang-Jenjang Sufisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

 

Farhan, Nazilul, Persepsi Social Santri Tarekat Qadhiriyah Wa Naqsyabandiyah Terhadap Kehidupan Bermasyarakat: Studi Kasus Mengenai Ritus Tarekat di Pondok Pesantren al-Falah Kolomayan Blitar, Skripsi di UIN Malang, 2014.

 

Hadi, Sofyan, “Tarekat Naqsyabandiayah Khalidiyah di MInangkabau: Tela’ah Teks al-Manhal al-‘Adhb li-Dhikr al-Qalb”, Manuskripta, Vol. 1, No. 2, 2011.

 

Khuzaini, Ahmad, Siddiqiyah: Studi Perubahan Status Tarekat dari Ghairu Mu’tabarah ke Mu’tabarah Oleh Jatmi (1957-2009), Skripsi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014.

 

Mustofa, A., Akhlak dan Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

 

Nur, Djamaan, Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah Pimpinana Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya, Cet. Ke-II, Medan: Panca Budi, 2002.

 

Rajab, Hadarah, “Implementasi Nilai-nilai Sufisme Tarekat Naqsyabandiyah di Sulawesi Selatan”, Ulumuna, Vol. XIV, No. 2, 2010.

 

Samidi, Oleh, “Penelitian; Tarekat Naqsyabandiyah di Pontianak”, JurnalAnalisa, Vol. XVI, No. 02, 2009.

 

Schimel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

 

Sri Mulyati (ed), Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Mukhtabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.

 

Van, Martin Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992.

 

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016.

 

-
-