Studi Terhadap Kitab Adabu An-Nufuus, Karya Harits al-Muhasibi; Tabiat Pencari Kebaikan dan Keadilan dan Keutamaan
Kepoen.com-Studi Terhadap Kitab Adabu
An-Nufuus, Karya Harits al-Muhasibi; Tabiat Pencari Kebaikan dan
Keadilan dan Keutamaan-Menurut
analisis penulis latar belakang dari penulisan kitab ini tidak lain adalah karena
beliau untuk membahasakan apa yang sedang dialami pada saat itu.
Dalam hal ini adalah karena beliau adalah sosok
yang sangat antusias dalam melakukan itropeksi diri. di sisi lain juga
bertujuan untuk meminimalisir masalah-masalah social pada saat itu, tentunya
yang berkaitan dengan masalah-masalah hati.
Di sisi lain menurut analisis
penulis pribadi, metode penulisan yang dibangun dalam kitab tersebut kami
namakan dengan istila metodeh beranak pinak. Mengapa? Karena pada dasarnya
dalam menjelaskan satu sub judul pembahasannya tidak tersistem dengan baik.
Dalam hal ini, pembahasan yang dibangun tidak focus pada pada sub judul yang
diangkat akan tetapi lebih kepada menambah pembahasan yang baru.
Gambaran Umum Kitab
Kitab ini berjudul adab al-Nufus (manajemen
kalbu), merupakan karya Abd
Harits al-Muhasibi yang ada sejak tahun 243 H. Kitab ini mulanya tersisa
beberapa dalam bentuk manuskrip dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Jar
Allah, Turki;Perpustakaan Universitas Kairo; Perpustakaan al-Azhar;
Perpustakaan Swasta, Paris; dan Perpustakaan al-Mishriyyah. Beberapa manuskrip
tersebut kemudian ditahkik oleh ‘Abd al-Qadir Ahmad Atha. Mulanya kitab ini
tidak mempunyai judul-judul bab (sub judul), dan juga tidak memiliki catatan
kaki seperti yang ada saat ini.
Kitab yang ada di tengah-tengah kita
saat ini adalah merupakan hasil dari tahkik dari bentuk aslinya. Penulis
sendiri tidak mengetahui dengan pasti jumlah halaman kitab ini dalam bentuk
aslinya. Namun dari hasil tahkiknya kitab ini terdiri dari 145 halaman dengan
jumlah sub judul sebanyak 28 pembahasan.
Selain itu kitab tersebut dengan
kalimat-kalimatnya yang ringkas membicarakan poin-poin penting seputar
penyakit-penyakit kalbu, seperti riya, ujub, dan dengki serta terapinya,
panduan menata niat dan kemauan, batas-batas kebaikan dan keburukan dalam amal-amal kalbu.
Selain itu kitab tersebut juga menjelaskan mengenai kiat-kiat muhasabah (intropeksi), muraja’ah (evaluasi), dan muraqabah (mawas).
Tema tentang Tabiat Pencari Kebaikan
dan Keadilan dan Keutamaan
Keadilan dan Keutamaan
Menurut al-Muhsibi jalan menuju
akhirat pada dasarnya hanya satu akan tetapi ketika berbicara mengenai manusia,
beliau membaginya kedalam dua kelompok, yaitu kelompok yang menganut keadilan (ahl
al-‘adl) dan kelompok yang menganut keutamaan (ahl al-Fadhl).
Selanjutnya di dalam kitab tersebut
dijelaskan bahwasanya keadilan terdiri dari dua macam di antaranya adalah
keadilan lahiriah, yakni keadilan antar sesama manusia, dan keadilan bathiniah,
yakni keadilan manusia dengan sang Pencipta. Jalan keadilan dalam pandangan
beliau adalah sebagai jalan istikomah, sedangkan jalan keutamaan adalah jalan
meminta tambahan/kelebihan.
Menurut beliau kesabaran dan sikap
warak bersama dengan sikap adil dan kebenaran dapat wujud di dalam kehidupan
manusia, ketika adanya keadilan di dalamnya. Sementara sikap Zuhud dan rida
bersama dengan keutamaan.
Siapa lebih disibukan oleh keadilan daripada keutamaan maka ia dimaafkan, dan siapa lebih disibukan oleh keutamaan daripada keadilan maka ia tertipu dan mengikuti hawa nafsu.
Sifat Kaum Yang
Adil
Di dalam kitab
tersebut menjelaskan mengenai tiga kriteria yang termasuk kaum yang adil,
antara lain:ilmu, perbuatan, dan kesabaran. Seseorang harus mempunyai ilmu
ketika dalam mengadili, dengan demikian adanya harapan untuk mengetahui apa
yang diharuskan baginya.
Karena dengan
ilmu kita bisa mengetahui kekuatan nafsu-nafsu yang kita miliki. Di mana ketika
seseorang memiliki sikap tersebut, maka ia tidak akan memiliki kemampuan
melebihi porsinya.
Dan biasanya
orang yang paling dekat dengan sikap tersebut adalah mereka-mereka yang selalu
mengevaluasi diri pada setiap detak baik ketika pada saat disenangi ataupun
dibenci oleh nafsunya.
Manusia yang Paling Jauh dari
Keadilan
Menurut al-Muhasibi, orang yang
paling jauh dari keadilan adalah orang yang melalaikan nilai-nilai keadilan itu
sendiri. Di sisi lain juga kurangnya instropeksi diri dalam setiap perilaku,
dan selalu meremehkan keadilan itu sendiri.
Dalam pembahasan tersebut
al-Muhasibi mengajak kita sebagai manusia untuk selalu bermuhasabah kepada
Allah SWT. Karena pada dasarnya jika sikap muhasabah tidak di tanamkan di dalam
diri seoarang hamba maka tidak akan merasa malu ketika melakukan maksiat kepada
Allah.
Tabiat Pencari Kebaikan
Di dalam
pembahasan ini al-Muhasibi memberikan sebuah pemahaman, bahwasanya seoarang
hamba pencari kebaikan pada dasarnya harus memiliki lima kebiasaan tertentu di
dalam mendapatkan hakekat dari sebuah kebaikan itu sendiri. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
a.
Benar. (al-Shawab)
Di dalam kitab
tersebut al-Muhasibi mengatakan bahwa berlaku benar pada dasarnya adalah sunah,
dan menurut beliau sunah pada dasarnya tidak hanya didapatkan pada saat shalat,
berpuasa, bersedekah, dan berdakwah saja.
Akan tetapi
secara hakiki dapat diraih dengan mengikuti dan berserah kepada kitab Allah,
ajaran Rasulullah, dan mengikuti imam yang terpercaya setelah wafatnya
Rasulullah.
Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi
sunah daripada akal. Tatkala manusia ingin menempuh jalan sunah dengan akal dan
pemahaman, pastilah ia akan melanggarnya dan mengambil jalan yang berbeda
darinya.
b. Jujur/Tulus (al-Shidq)
Menurut
al-Muhasibi kejujuran/ketulusan pada dasarnya meliputi empat hal. Diantaranya
adalah: Pertama, engkau beramal kemudian tidak mngharapkan balasan. Kedua,
tidak berterimah kasih kepada makhluk atas hal tersebut kecuali kepada Allah
SWT.
Kedua, tidak
membatalkan (pahala) amal dengan kata-kata kotor dan cercaan. Ketiga, kejujuran
lidah dalam berbicara. Pada dasarnya banyak realita yang ada di dalam kehidupan
masyarakat saat ini adanya kelompok-kelompok tertentu yang selalu mengadu
domba, ghibah dan lain sebagainya.
c.
Syukur
(al-Syukr)
Di dalam pengertian
yang dibangun oleh al-Muhasibi bahwasanya syukur berarti mengenal cobaan. Dalam
hal ini manusia tanpa menyadari sebenarnya kenikmatan yang datang merupakan
ujian dari Tuhan.
Di sisi lain
al-Muhasibi mengungkapkan bahwa tolak ukur seseorang bersyukur dapat dilihat
jika seseorang sadar bahwa ujian datangnya dari Allah dan ujian tersebut
dianggap sebagai nikmat dan tidak menyekutukan Allah Swt.
Di sisi lain
alat untuk asal rasa syukur pada dasarnya dengan menggunakan hati dengan alasan
bahwa semua nikmat yang ada berasal dari Allah SWT. dengan pengetahuan yang
pasti yang tidak dicampuri keraguan didalamnya. Selain itu di dalam kitab
tersebut dijelaskan bahwa rasa syukur yang lebih tinggi adalah beranggapan
segala mala petaka yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai kenikmatan.
Dengan alasan karena malapetaka yang menimpah orang lain lebih dahsyat dari
dialami.
d.
Berharap
(Raja’)
Di dalam
penjelasannya bahwasa maksud dari istilah di atas adalah mendambakan
diterimahnya amal dan pahala berlimpah atas amal tersebut, dan merasa khawatir
ketika amal akan ditolak atau mungkin telah dimasuki oleh penyakit yang
merusak. Di dalam penjelasannya bahwa
orang yang berharap terbagi atas tiga golongan.
Pertama, seseorang yang mengerjakan kebaikan dengan penuh kejujuran, ikhlas,
hanya menginginkan Allah dan mencari ganjaran-Nya. Kedua, orang yang
mengerjakan kejahatan kemudian bertobat kepada Allah. Ia berharap tobatnya akan
diterima dan diberikan pahalanya. Ia sangat mengharapkan ampunan serta
maghfirah dan takut kalau sampai diberikan hukuman.
Ketiga, orang yang bergelimang dosa dan hal-hal yang tidak disukai untuk ia
lakukan, sedangkan ia tidak suka menemui Allah dengan noda dan dosa itu. Ia
mengharapkan ampunan tanpa bertobat. Ia tidak bertobat dari kejahatannya dan
tidak pula menjauhinya, tetapi pada saat itu ia mengharap.
e.
Takut (Khauf)
Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa besarnya rasa takut pada
dasarnya sebanding dengan dosa yang kita miliki. Dalam hal ini jika seseorang
hanya cukup dengan berharap saja tanpa beramal, niscaya orang yang berbuat baik
dan orang yang berbuat jahat sama saja nilainya.
Karena pada dasarnya rahmat Allah sangat dekat dengan kita. Hal
tersebut sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS.Al-Araf:56. Dijelaskan juga
bahwa pada diri orang yang beriman, diibaratkan memiliki dua hati, satu hati
untuk berharap dan hati yang kedua untuk takut.
Orang yang tahu bahwa dirinya banyak
berbuat jahat, hendaknya ketakutannya sejalan dengan pengetahuannya tersebut.
Sedangkan harapannya sejalan dengan pengetahuan dirinya tentang kebaikannya.
Harapan sesuai kadar upaya menuntut kebaikan, sedangkan ketakutan sesuai kadar
upaya melarikan diri dari kejahatan.
Kelebihan Kitab
Kelebihan kitab
ini berdasarkan analisis penulis, di antaranya adalah, Pertama, walaupun
kitab ini mulai muncul 243 H, akan tetapi nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya masih relefan dengan kehidupan sekarang. Kedua, tentunya
hadirnya kitab ini sebagai obat untuk meminimalisir
penyakit-penyakit social (hati) pada era sekarang ini.
Ketiga, karena manusia jantung kehidupannya adalah hati, dan pembahasan kitab ini berkaitan dengan
hati, maka kitab ini akan tetap bermanfaat, tetap hidup di tengah-tengah kehidupan
beragama dan masyarakat selama hati manusia ada di setiap individu.
Kesimpulan
Pada dasarnya
kitab tersebut sebenarnya menyimpan banyak pembahasan yang erat kaitannya
dengan kehidupan sekarang ini, akan tetapi karena kondisi dan keadaan yang
tidak mendukung maka pembahasannya tidak dimuat di dalam ini. Tentunya hadirnya
kitab ini di tengah-tengah masyarakat, merupakan salah satu obat untuk meminimalisir
penyakit-penyakit social (hati) pada era sekarang ini.
Di sisi lain
kitab ini akan selalu bermanfaata dalam keadaan zaman apapun. Karena jantung
kehidupan kita adalah hati, dan pembahasan kitab ini berkaitan dengan hati,
maka kitab ini akan tetap bermanfaat, tetap hidup di tengah-tengah kehidupan
beragama dan masyarakat selama hati manusia ada di setiap individu.
Sumber Rujukan Materi
An-Naisabury, Abul Qasim
al-Qusyairy, “Ar-Risalah Al-Qusyairiyah fi ‘Ilm at-Tasawuf” Mohammad
Lukman Hakiem (terj), Risalah Qusyairiyah:Induk Ilmu Tasawuf, Surabaya:Risalah
Gusti, 2014.
al-Muhasibi, Abu ‘Abd Allah
al-Harits ibn Asad, “Adab al-Nufus”, Izza Rohman Nahrowi (terj), Tulus
Tanpa Batas: Mengasah Kalbu meraih Ikhlas.