Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Baitul Hikmah Sebagai Sumbangsih Cendekiawan Muslim Beserta Karya-Karyanya terhadap Dunia Barat

 

Kepoen.com-Baitul Hikmah Sebagai Sumbangsih Cendekiawan Muslim Beserta Karya-Karyanya terhadap Dunia Barat- Pada saat barat tengah berada dalam masa kegelapan, para cendekiawan Muslim mulai menarik perhatian. Ini terjadi ketika kejayaan Islam sedang berada di puncaknya, terutama selama pemerintahan Khalifah Ja'far al-Mansur, Harun ar-Rasyid, dan al-Makmun dari Daulah Bani Abbasiyah.

Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abu Abbas as-Saffah dengan ibu kota di Baghdad. Pada masa ini, banyak cendekiawan Muslim terkenal yang lahir, seperti Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Jabir bin Hayyan, al-Battani, dan beberapa lainnya.

Kejayaan Daulah Bani Abbasiyah sebanding dengan masa kejayaan Daulah Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol). Maurice Lombard, seorang sejarawan Prancis, menyebutnya sebagai The Golden Age of Islam (Masa Keemasan Islam), yang menjadi kenyataan dalam sejarah dunia, baik di Dunia Barat (Daulah Umayyah di Andalusia) maupun di Dunia Timur (Daulah Abbasiyah di Timur).

Ungkapan sejarawan K. Hitti yang indah menyebutnya sebagai The Glory That was Baghdad (Kemegahan yang bernama Baghdad), menggambarkan masa keemasan peradaban Muslim pada masa Daulah Bani Abbasiyah di Baghdad, dan Cordova disebut sebagai Jewel of the World (Mutiara Dunia) dalam menggambarkan masa keemasan peradaban Muslim pada masa Daulah Umayyah di Cordova (Andalusia).



Selama masa kejayaan Daulah Bani Abbasiyah di bawah pemerintahan Khalifah al-Mansur, dimulailah gerakan besar-besaran penerjemahan dari literatur Persia, India, Yunani klasik, dan Siryani ke dalam bahasa Arab. Khalifah mendirikan lembaga yang disebut Baitul Hikmah untuk menyukseskan mega proyek penerjemahan ini. Cendekiawan Muslim, seperti al-Khawarizmi, mulai menciptakan karya-karya mereka yang difokuskan di Baitul Hikmah pada masa pemerintahan al-Mansur.

Hal serupa juga dilakukan oleh cendekiawan pada masa al-Makmun. Baitul Hikmah menjadi pusat ilmu pengetahuan, dan akibatnya, bangsa Barat mulai berbondong-bondong untuk mempelajari berbagai ilmu, terutama dalam bidang Matematika, filsafat, dan sains alam.

Dari sinilah terlihat kontribusi Islam terhadap dunia Barat, yaitu melalui para cendekiawan yang menjadi guru-guru besar dengan karya-karya mereka. Mereka berhasil mengubah peradaban Barat yang sebelumnya terbelakang.

Sejarah Berdirinya Baitul Hikmah

Sejarah Baitul Hikmah dimulai pada masa kepemimpinan Bani Abbasiyah, di mana para cendekiawan Muslim dan non-Muslim menciptakan karya ilmiah yang mengubah peradaban dunia dari Timur hingga Barat. Daulah Bani Abbasiyah berhasil menggulingkan Daulah Bani Umayyah pada tahun 132 H/750 M. Kemudian, masa keemasan Daulah Bani Abbasiyah dimulai di bawah kepemimpinan Abu Ja'far al-Mansyur.

Pada masa Khalifah al-Mansyur, dimulailah gerakan besar-besaran penerjemahan dari literatur Persia, India, Yunani Klasik, dan Siryani ke dalam bahasa Arab. Untuk mendukung proyek penerjemahan ini, Khalifah mendirikan Baitul Hikmah sebagai perpustakaan dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan.

Khalifah al-Mansyur menjadi pemimpin kedua setelah Abul Abbas as-Saffah dan memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, pada tahun 762 M. Baghdad menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Al-Mansyur terkenal sebagai arsitek dan pembangun, dan dia memulai program pembangunan besar-besaran, termasuk membangun Baitul Hikmah. Baitul Hikmah adalah perpustakaan terkenal di Baghdad yang menjadi pusat tujuan para cendekiawan dari berbagai negara dan agama untuk mempelajari berbagai bidang ilmu.

Ada pendapat yang berbeda tentang siapa yang menjadi pendiri Baitul Hikmah, apakah al-Mansyur atau al-Makmun. Namun, banyak sumber cenderung mendukung al-Mansyur karena kejayaan Daulah Bani Abbasiyah dimulai pada masa kepemimpinannya.

Baitul Hikmah merupakan tempat penting untuk mengakomodasi proyek penerjemahan, penyalinan, penelaahan, dan penyimpanan banyak volume naskah dari berbagai bahasa seperti Persia, Sanskerta, dan Yunani. Baitul Hikmah menjadi awal dari apa yang dikenal luas sebagai Bait al-Hikmah, atau "rumah kebijaksanaan."

Pada masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid (tahun 170 sampai 193 H), Baitul Hikmah berkembang pesat. Harun ar-Rasyid memerintahkan agar buku-buku manuskrip yang terjaga di istana Khilafah dipelihara dan dikeluarkan. Dia juga membangun bangunan khusus untuk memperbaiki dan memperluas perpustakaan, agar dapat diakses oleh para pengajar dan penuntut ilmu.

Selanjutnya, Baitul Hikmah berkembang menjadi perpustakaan khusus dan pusat penerjemahan. Perpustakaan ini memiliki beberapa bagian, termasuk divisi untuk meneliti kitab-kitab dari berbagai bidang ilmu.

Pusat penerjemah juga menjadi fokus penting, dan al-Ma'mun memimpin revolusi besar-besaran dalam penerjemahan kitab-kitab peninggalan zaman kuno ke dalam bahasa Arab. Baitul Hikmah juga memiliki menara astronomi di dekat Baghdad, yang digunakan oleh para ilmuwan astronomi, geografi, dan matematika seperti al-Khawarizmi dan al-Biruni.

Baitul Hikmah menjadi tempat penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan melestarikan pengetahuan kuno. Hal ini memberikan kontribusi besar terhadap kejayaan peradaban Islam dan menyumbangkan berbagai penemuan dan pemikiran yang akan mempengaruhi peradaban dunia hingga zaman modern.

Cendekiawan Muslim dan Karya-karyanya yang Menjadikan Rujukan Mahasiswa Barat

 

Cendekiawan Muslim dan Karya-karyanya yang Menjadikan Rujukan Mahasiswa Barat

Kedudukan ilmu sains dibawah naungan Islam telah mencapai posisi yang sangat hebat. Dengan demikian, kaum Muslimin menjadi pelopor di dunia. Universitas mereka penuh dan terbuka lebar bagi para penuntut ilmu dari kalangan orang-orang Eropa. Mereka datang berbondong-bondong dari negaranya untuk menimba Ilmu tersebut.

Para Raja Eropa dan penguasanya mengutus mereka ke negara kaum Muslimin untuk belajar pengobatan. Ilmu kedokteran termasuk ilmu yang telah melesat perkembangannya, dimana kaum Muslimin telah memberikan sumbangsih luar biasa pada masa peradaban mereka yang cemerlang. Sumbangan tersebut belum pernah dilakukan secara menyeluruh, unggul, dan terbukti dalam perjalanan sejarah. 

Sebab dunia kedoteran tidak ada sebelum peradaban kaum Muslimin. Para ilmuwan Muslim yang pertama kali mengetahui spesialisasi kedokteran diantaranya adalah dokter spesialis mata, yang disebut dengan Kahalain (Mata Hitam), kemudian ada spesialis bedah, hijamah (bekam) dan seterusnya.

Diantara para pakar ilmuwan pada masa itu adalah Abu Bakar Ar-Razi,  yang di daulat sebagai ilmuwan paling besar di bidang kedokteran dalam sejarah.  Begitulah seterusnya, hari-hari kejayaan terus berputar sampai pada masa Bani Abbasiyah sehingga kaum Muslimin memperbaharui cabang bidang kedokteran. Mereka meneliti dan meluruskan kesalahan para Ilmuwan dulu sesuai teori yang mereka temukan.

 

Dalam Bidang Ilmu Kimia

Kemudian Ilmuwan Muslim yang bernama Jabir bin Hayyan, dicatat sebagai Bapak Kimia yang pertama kali membangun laboratorium kimia pertama di dunia. Jabir adalah perintis yang meletakkan dasar-dasar metode riset kimia secara ilmiah dan eksperimental.

Sebelum jabir, para ahli alkimia Yunani, India, Cina, dan Alexandria (Mesir) umumnya masih menggunakan metode spekulatif semata tanpa melakukn eksperimen empiris. Jabir menyatakan bahwa eksperimen merupakan aspek paling penting dari kimia.

Hal itu juga diafirmasi oleh C. I. Figuierin yang mengungkap penelitiannya bahwa sebelum abad ke-8, Geber (Jabir0 telah mempraktikkan aturan-aturan mazhab eksperimental alkimia yang memungkinkan kimia modern muncul.

Pada abad ke-9, seorang ahli kimia Arab, Jabir bin Hayyan mengemukakan baha setiap logam di bumi terdiri campuran sulfur dan merkuri yang berbeda-beda sehingga sangat mungkin “ditransmutasikan” bila kedua unsur ini diurai lantas disusun ulang sesuai dengan proporsi dan kadar murninya.

Hal ini menjadi landasan teorotis bagi banyak penelitian yang terbukti sama masyhurnya baik di dunia Timur maupun Barat, terutama karena memberikan harapan bahwa orang bisa menghasilkan emas dari logam tak mulia yang lebih banyak jumlahnya.

Dengan segala kecerdasannya Jabir bin Hayyan bisa mengubah sebuah logam seperti timah, besi dan tembaga menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerng, asam sendwa dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak.

Di tangan beberapa ahli kimia alkimia Arab yang belakangan, unsur simbiolis penting ini perlahan-lahan dihilangkan sehingga memuluskan peralihan disiplin alkimia yang spiritual menjadi ilmu kimia yang praktis. Para ilmuwan ini menghasilkan karya-karya seputar penggolonganzat mineral, berbagai proses dan teknik dasar, serta diskusi mengenai peralatan dan perlengkapan penunjang lainnya yang kesemuanya dengan mudah terasimilasi ke dalam bahasa ilmiah Barat yang baru muncul.

Kehadiran alkimia Arab di dunia Latin memicu berabad-abad penelitian tentang sifat-sifat kimiawi dan prosedur-prosedur ekseperimen; mirip seperti cara pandang geosentris dalam studi-studi berbahasa Arab terhadap Almagest  turut berperan menyongkirkan batas-batas astronomi matematis.

 

Dalam Bidang Ilmu Kedokteran

Abu Bakar Aar-Razi ia dikenal sebagai Razhes (865-925M). mempunyai penjelasan yang tidak dapat diterangkan kandungannya dalam kitab karyanya. Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah al-Hawy, terdiri dari tiga puluh jilid, al-A’syah (The Nervest), dan al-Jami’ (The Universal).

Beberapa diantaranya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin, kemudian ke dalam bahasa Eropa termasuk dalam bahasa Inggris. Razhes juga menulis Filsafat, Theologi, Matematika, astronomi dan ilmu pengetahuan alam, sayangnya sangat banyak tulisan-tulisannya yang lenyap. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.

Ahli ilmu kedokteran setelah ar-Razi adalah Abu Ali al-Husein bin Abdullah yang lebih dikenal Ibnu Sina atau Aviccena (980-1037M) pangeran dokter, dikarenakan prestasinya yang besar dan diakui sangat berpengaruh kepada para pemikir filsuf dan generasi sesudahnya. Tidak hanya itu, Ibnu Sina juga dijuluki sebagai raja obat dalam dunia islam yang disebut sebagai zenit yang merupakan puncak tertinggi dalam islam.

Ia menulis buku yang berjudul al-Qanun fith-Thib. Buku tersebut diterbitkan dalam bahasa latin dan ibrani hingga mencapai 15 kali penerbitan. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul The Canon Of Medicine sebuah ensiklopedia tentang pengetahan Dunia kedokteran, merupakan referensi dasar dan utama ilmu medis di Eropa salah satu prestasi Ibnu Sina yang sangat dibutuhkan dalam periode waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan buku-buku yang pernah ditulis.

Karya ini merupakan kontribusi terpenting yang diwariskan kepada dunia kedokteran sehingga paling banyak peminat pembacanya dan sangat berpengaruh pada ilmu medis Islam dan Eropa. Buku kedokteran Ibnu Sina yang lain berjudul Materia Medica memuat kira-kira 760 macam ilmu tentang obat-obatan.

Buku tersebut selama lima abad (dari Abad ke-12 M sampai abad ke-17M) dipakai sebagai referensi yang utama untuk ilmu ketabiban Barat. William Osler mengatakan, di antara kitab-kitab yang lain, kitab Ibnu Sina inilah yang tetap merupakan dasar ilmu ketabiban untuk masa yang paling lama. Disamping karya-karya ilmu kedokteran, ia menulis lebih dari seratus risalah teologi, filologi, filsafat dan astronomi.

 

Dalam Bidang Ilmu Matematik

Salah satu manifestasi dari apresiasi yang amat tinggi terhadap matematika di kalangan sarjana muslim adalah banyaknya matematikawan Muslim yang merintis perkembangan bidang-bidang telaah matematika.

Salah seorang matematikawan Muslim yang terknal adalah al-Khawarizmi, nama lengkapnya Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi. Di Barat terutama di Eropa, dia lebih dikenal dengan nama Algorism. Ia adalah pencetus kajian logaritma dan menghasilkan beberapa teori tentang aljabar.

Dia lahir di Khawarizmi, persia, pada 780. Dia sempat bekerja di Bait al-Hikmah, Baghdad, yang didirikan oleh Khalifah Ma’mun. Khalifah Ma’mun memang dikenal dengan para ilmuwan dan filsuf karena kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Al-Khawarizmi bekerja dalam sebuah observatorium telaah matematika dan astronomi.

Sayyed Hossein Nasr menyebutkan bahwa ilmu aljabar yang kita kenal saat ini berasal dari karya tersohor al-Khawarizmi yang berjudul kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqobalah (buku kesimpulan proses kalkulasi untuk paksaan dan persamaan), yang pertama kalinya, al-khawarizmi menggunakan kata arab al-jabr yang berarti “paksaan” dan juga “perbaikan”.

Sebagai seorang pemikir terbesar, al-Khawarizmi telah memengaruhi pemikiran dalam bidang Matematika yang hingga batas tertentu lebih besar dari pada penulis Abad pertengahan lainnya.  tidak seorang pun yang mengungguli Matematikawan dan astronom Muhammad bin Musa al-Khawarizmi dalam upayanya memajukan tren-tren terkini dan kemudian menjelaskan serta mempopulerkan hasilnya.

Karena keahlian dan minatnya, al-Khawarizmi bisa jadi turut serta dalam observasi-observasi astronomi sang Khalifah di Baghdad, atau bahkan dalam survei gurun yang mengukur panjang satu derajat.

Namun, karyanya tentang siddhanta lebih memberikan kepastian karena dia telah menghasilkan sekitar 825 ikhtisar atas Al-Ma’mun dan juga dua tabel bintang yang dikenal dengan sebutan zij al-sindhind, yang telah dipakai berabad-abad lamanya di Dunia Muslim dan kemudian di Dunia Kristen Eropa. Kini tabel al-Khawarizmi menjadi contoh zij Islam tertua yang masih ada, sekalipun bentuknya telah mengalami perubahan penting selama berabad-abad berselang.

Dalam Bidang Ilmu Astronomi

Sebelum Islam datang telah terdapat beberapa tradisi keilmuan dan peradaban yang perkembangannya telah mengalami kebuntuan dan sekarat. Sejalan dengan etos keilmuan Islam yang terbuka, para sarjana Muslim Menerima Khazanah berbagai peradaban pra-Islam  seraya secara kreatif mengembangkannya sendiri dengan cara pandang dan paradigma yang baru, yang sesuai dengan pandangan dunia Tauhid.

Oleh karena itu langkah pertama dilakukan oleh sarjana Muslim dalam sains astronomi adalah menerjemahkan karya-karya astronomi dari tradisi (yunani), persia, Babilonia, Haran dan India. Perkembangan astronomi Islam makin berkembang dengan kemunculan al-Farghani. 

Sang astronom yang berasal dari Transoxania, sebuah kota di Uzbekistan, Asia Tengah. Di Barat dia dikenal sebagai Alfraganus, suatu indikasi yang menunjukan pengaruhnya terhadap Eropa melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa Eropa, terutama bahasa Latin.

Al-Faraghi termasuk seorang tokoh astronom terkemuka pada zaman Khalifah al-Makmun. Ketika Khalifah al-Makmun membangun sebuah observatorium astronomi di Baghdad pada tahun 829H. Ia menghitung jarak dan ukuran planet, hasil observasi jarak dan ukuran planet beserta teori dan metodologi yang digunakannya di tuangkan dalam sebuah karya yang terkenal, Elemen Astronomi.

Ia menerjemahkannya dalam bahasa latin dan diterima secara Universal di Barat. Karya al-Faraghi adalah teks otoritas puncak astronomi di Eropa dan Asia Barat selama hampir 700 tahun. Ia memengaruhi perkembangan astronomi di Eropa sejak abad ke-12 hingga abad ke-18.

Karya-karya al-Faraghi masih tetap bertahan dan tersimpan baik di Oxford, Paris, Kairo, dan perpustakaan Universitas Princeton, diantaranya adalah Jawami’ ‘Ilm al-Nujum wa Ushul al-Harakat al-Samawiyah (Asas-asas Ilmu Bintang), almanak perbintangan, menentukan perjalanan edar bintang-bintang dalam garis orbitnya di langit.

al-Madkhal ila ‘Ilm al-Falak (pengantar ke ilmu perbintangan), Kitab al-Fushul al-Tsalatsin. Semuanya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin dan Spanyol oleh John dari Sevile dan Gerard dari Cermona pada tahun 1135.

 Ilmuwan Astronom selain alFaraghi ada juga al-Battani lahir di Harran, Suriah, nama lengkapnya Abu Abdulloh Muhammad. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di Raqqah, daerah tepi sungai Eufrat.

Di tempat itulah ia melakukan observasi-observasi astronom pada observatorium yang dibangun oleh Khalifah al-Ma’mun. Al-Battani dikenal dengan nama albetegni atau al-Betenius di Eropa. Dia merupakan generasi penerus astronom al-Faraghi dengan mengembangkan telaah astronomi yang amat ia kuasai. Kontribusi al-Battani terhadap astronomi sangat besar, diantaranya adalah:

pertama, dia memperkenalkan terminologi-terminologi astronomis yang digali dari bahasa Arab. Kedua, dia mengoreksi tata surya Ptolemeus yang Statis menjadi lebih Dinamis.  Ia membuktikan adanya variasi diameter anguler yang tampak dari Matahari dan kemungkinan gerhana-gerhana yang berbentuk seperti cincin.

Ketiga, menentukan secara teliti garis lengkung atau kemirngan ekliptika (orbit di mana matahari terlihat bergerak), panjangnya tahun tropis, lamanya suatu musim, dan titik ketetapan orbit Matahari serta orbit utama planet tersebut. Keempat, menetapkan terlihatnya bulan baru, dan membuat telaah terperini mengenai gerhana Bulan dan Matahari.

kelima, mengintroduksir penetapan satu hari menjadi 24 jam siang-malam. Ia mengukur garis lurus katulistiwa lewat pengukuran bayang-bayang yang datang melalui alat gnomon, (semacam papan untuk mengukur cahaya Matahari setelah dibagi menjadi 12 bagian).

al-Battani pengarang az-Zaijush Shabi terkenal sebagai ilmuwan yang membawa pengaruh besar dalam ilmu astronomi. Dia adalah Ilmuan yang meneliti banyak tempat bintang, dan meluruskan teori sebagian gerakan bulan dan bintang yang berjalan.

Ia juga yang menghitung lamanya panjang tahun syamsiyah. Bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Latin pada abad ke-12 Masehi, sebagaimana dicetak di Eropa beberapa terbitan. Buku ini menunjukan seputar pengetahuan astronomi.

 

Hancurnya dan Runtuhnya Baitul Hikmah

Untuk mengetahui lebih detail tentang data perkembangan intelektual dan kultural pada masa Daulah Bani Abbasiyah, terdapat dalam buku karya Williyan Khazin yang bertajuk al-Hadharah al-Abbasiyah.

Sudah menjadi kenyataan bahwa pada masa awal pemerintahan Khalifah-Khalifah Daulah Bani Abbasiyah, Ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Muslim terus tumbuh subur dan berkembang pesat sehingga mencapai berbagai kemajuan yg mengkagumkan diberbagai cabang dan aspeknya. Kemmajuan sains, kebudayaan, dan peradaban Muslim yang sangat pesat dan menakjupkan ini digambarkan sebagai berikut:

Pijar-pijar pesona kebesaran dan gemerlap keagungan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Arab-Muslim juga memikat ketakjuban dan kekaguman, H.G. Well . Ahli sejarah terkenal Inggris, untuk angkat pena. Momentum historis kebesaran dan kejayaan peradaban Muslim tidak luput dari perhatian dan pengamatan jeli H.G. Well.

Perpustakaan baghdad dengan begitu banyak perpustakaan Islam lainnya berperan besar dalam kebangkitan ilmu disegala ruang lingkup kehidupan bagi kaum muslimin. Perpustakaan juga digunakan untuk mencetak para ilmuan yang menjadi penggerak berbagai macam ilmu pengetahuan.

Diperkirakan, orang-orang tartar telah membawa kitab-kitab bernilai ini ke ibu kota Mongol untuk dimanfaatkan padahal mereka waktu itu masih dalam terbelakang dalam hal peradaban dari ilmu-ilmu yang menakjubkan.

Namun orang-orang tartar sendiri dikenal suka menghancurkan, tidak suka membaca dan tidak ingin belajar. Hidup hanya untuk memuaskan nafsu sahwat dan kenikmatan semata. Orang-orang tartar melemparkan peninggalan Islam ke sungai Tigris sehingga warna air sungai itu berubah hitam karena tinta buku. Bahkan ada yang mengatakan, tentara berkuda pasukan Tratar menyebrangi sungai diatas jilid-jilid buku yang besar dari tepi sungai ketepi yang lain.

Yang sangat disayangkan, sedikit dari karangan ilmiyah yang dapat diselamatkan dari kehancuran ditangan orang-orang tukang perang dan lainnya tersebut, yang merupakan sebab penting dalam pergerakan ilmiyah model di eropa.

Semua buku-buku yag bisa diselamatkan itu diakui banyak kalangan ilmuan Barat sebagai temuan mereka. Karena itu, perpustakaan Baitul Hikmah Baghdad sangat berperan besar dalam peradaban kemanusiaaan, dimana temuannya menjadi sarana dari temuan-temuan pada masa sekarang.

 

Kesimpulan

Pada masa Abbasiyah muncullah para cendekiawan. Mereka semua memiliki beberapa karya-karya ilmiah yang dapat mengubah peradaban dunia dari wilayah Timur hingga Barat. Masa Daulah Bani Abbasiyah adalah masa gemilang yang dimulai pada kepemimpinan Abu Ja’far al-Mansyur yang dimulai gerakan penerjemah dari literatur persia, India, Yunani Klasik, dan siryani ke dalam bahasa Arab.

Untuk menyukseskannya Khalifah mendirikan lembaga yang disebut Baitul Hikmah. Baitul Hikmah adalah perpustakaan di baghdad yang didirikan Khalifah al-Mansyur pada masa Abbasiyah.

Pada perkembangan selanjutnya Baitul Hikmah menjadi perpustakaan khusus dan menjadi pusat penerjemah. Baitul Hikmah juga menjadi perpustakaan, bagian ini merupakan bagian divisi untuk meneliti kitab.

Untuk mengetahui lebih detail tentang data perkembangan intelektual dan kultural pada masa Daulah Bani Abbasiyah, terdapat dalam buku karya Williyan Khazin yang bertajuk al-Hadharah al-Abbasiyah.

Sudah menjadi kenyataan bahwa pada masa awal pemerintahan Khalifah-Khalifah Daulah Bani Abbasiyah, Ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Muslim terus tumbuh subur dan berkembang pesat sehingga mencapai berbagai kemajuan yg mengkagumkan diberbagai cabang dan aspeknya.

Kemajuan sains, kebudayaan, dan peradaban Muslim yang sangat pesat dan menakjupkan ini digambarkan sebagai berikut: Pijar-pijar pesona kebesaran dan gemerlap keagungan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban Arab-Muslim juga memikat ketakjuban dan kekaguman, H.G. Well . Ahli sejarah terkenal Inggris, untuk angkat pena. Momentum historis kebesaran dan kejayaan peradaban Muslim tidak luput dari perhatian dan pengamatan jeli H.G. Well.

 

Daftar Pustaka

 

Khuluq, Lathiful, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: LESFI, 2003.

Ismail, Faisal, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2017

Amin, Samsul Munir, Sejarah  Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.

Syukur, Abdul, kitab sejarah peradaban Islam, Jogjakarta: Saufa, 2014.

Assirjani, Raghib, Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012.

Heriyanto, Husain, Menggali Nalar Saintifik Peraaban Islam, Jakarta: Mizan Publika, 2011.

Lyons, Jonathan, The Great Bait Al-Hikmah, Jakarta: Noura Books, 2013.

Zubaidah, Siti, sejarah peradaban Islam, Medan: Perdana Publising, 2016. 

Nekosten, Mehdi, kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya: Risalah gusti, 1996.

Philip K Hitty, History of Arabs, New York: Palgrave Macmillan, 2002.

-
-