injauan Umum kitab Tafsir Al-Kabir Karya Ibnu Taimiyah
Kepoen.com-Tinjauan Umum kitab Tafsir Al-Kabir Karya Ibnu Taimiyah-Tafsir al-Kabir berjumlah 7 jilid, diverifikasi oleh Abdurrahman Umairah
yang selesai pada sore hari di bulan Zulqa’dah tahun 1406 H atau bulan Juli
1986 M.[1]
Pada jilid pertama hingga
pertengahan jilid kedua, tafsir ini berisi tentang pemaparkan secara panjang masalah-masalah yang panjang tentang Ibnu
Taimiyah. Melingkupi biografi,
perjalanan hidup, dan perjuangan karirnya.
Dilanjutkan dengan kondisi politik, lingkungan sosialnya. Pada jilid
pertama pula dipaparkan bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah terhadap tafsir,
penolakan dan diskusi yang sengit terhadap orang-orang sesat.
Dilanjutkan pembahasan
tafsir Al-Fatihah yang baru dimulai pada jilid II. 29 pasal memadati isi dari
jilid II, delapan pasal terakhir di jilid II baru memaparkan tentang tafsir
ayat al-Qur’an versi Ibnu Taimiyah, adapun pasal-pasal yang lain berbicara
tentang pendapat Ibnu Taimiyah tentang akidah dan kepercayaaan.
Ada juga pasal yang
menguraikan ide Ibnu Taimiyah tentang al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang masih
berkaitan dengan al-Qur’an dan tafsir, seperti al-Qur’an adalah bukti konkrit
atas kebenaran nabi Muhammad, sumpah-sumpah dalam al-Qur’an, perbedaan ulama
salaf tentang tafsir, dalam jilid II, kajian tafsir surah al-Fatihah
yang dapat kita pelajari.[2]
Selanjutnya kajian tiga
buah surah memenuhi jilid III. Penjelasan secara global tentang tafsir surah al-Baqarah dapat kita baca
dalam 12 halaman pertama dari jilid ini. Jilid ini memuat 10 pasal yang
membahas tafsir surah al-Baqarah, dan disertai dengan penutup al-Baqarah dan
uraian tentang keutamaan yang ada dalam doa dengan membaca akhir surah
al-Baqarah.[3]
Kemudian Tafsir surah
Ali Imran dibuka dengan uraian ide-ide Ibnu Taimiyah tentang arti dan tafsir
surah Ali Imran ayat 18 dan 19.[4]
Dan rupanya surah Ali Imran dominan penafsiran berorientasi pada masalah akidah, seperti pembahasan tentang perumpamaan Nabi Isa halnya
nabi Adam, dan ketidak setujuan Ibnu Taimiyah tentang nabi Isa yang dituduh
mempunyai dua karakter.[5]
Adapun tafsir surah an-Nisa dimulai dengan
pasal yang berkaitan dengan keinginan-keinginan (syahwat) manusia yang di dalam
surah an Nisa dibuka dengan ayat 27.[6]
Penafsiran surah an Nisa merupakan bagian yang paling besar di bab III
dibanding dua surah sebelumya. Terbukti, penafsiran surah an Nisa melibatkan 36
pasal, masih dengan gayanya, 36 buah pasalnya adakalanya membahas ayat tertentu
pula. Dan adakalnya penafsiran satu buah ayat terdapat dalam beberapa pasal. [7]
jilid III ditutup dengan kandungan isi tafsir
surah an Nisa ayat 107 yang termuat dalam 2 buah pasal. [8] Dilanjutkan pada jilid IV berisi tafsir Qs. Al-Maidah sampai Qs. Yunus,
lalu pada jilid ke V berisi tafsir Qs. Hud sampai Qs. Nur, jilid VI Qs.
Al-Furqan sampai Al-‘Alaq, jilid ke VII Qs. Al-Bayyinah sampai Qs. An-nas,
dilanjutkan dengan penutup.
Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir
Al-Kabir
Tafsir al-Kabir yang
penulis kaji merupakan tafsir yang telah di-tahqiq oleh Abdurrahman
Umairah. Dalam mukadimahnya, muhaqiq menyatakan bahwa ia bermaksud
membuktikan kepada masyarakat pemerhati tafsir, bahwa uraian-uraian dalam
Tafsir al-Kabir seluruhnya merupakan karya Ibnu Taimiyah, dalam bidang
al-Qur’an dan Tafsir.
Selanjutnya masih dalam
pendahuluan, ia juga memberikan argumen-argumen yang diterangkan secara detail
untuk menguatkan bukti bahwa isi dalam tafsir tersebut merupakan karya Ibnu
Taimiyah, serta menghilangkan juga menepiskan keraguan yang ada dalam benak masyarakat
yang menyaksikan keberadaan Tafsir al-Kabir sebagai hasil Ibnu Taimiyah.[9]
Selanjutnya masih dalam
pendahuluan, dia memberikan argumen-argumen yang diterangkan secara detail
untuk menguatkan isi dalam tafsir tersebut merupakan karya Ibnu Taimiyah dan
menghilangkan juga menepiskan keraguan yang ada dalam benak masyarakat yang
menyaksikan keberadaan Tafsir al-Kabir sebagai hasil Ibnu Taimiyah.
Untuk meyakinkan permbaca
Tafsir, pada alenia terakhir dari pendahuluan Tafsir al-Kabir, Ibnu Taimiyah
kembali menyatakan bahwa kitab yang anda baca adalah kitab tafsir dan ditulis
sepenuhnya oleh Ibnu taimiyah.[10]
Corak dan Metode Penafsiran
Kitab Al-Kabir
Tafsir Ibnu Taimiyah
menurut istilah sekarang, termasuk dalam kelompak tafsir dengan corak sastra
budaya kemasyarakatan, yang mana dalam kitab tafsirnya, ia menjelaskan petunjuk
ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha-usaha
untuk menanggulangi masalah dengan berdasarkan petunjuk ayat-ayat, yang
dikemukakan dalam bahasa yang mudah dimengerti lagi indah dan lancar.[11]
Ibnu Taimiyah tidak sibuk
dengan persoalan I’rab dan kebahasaan-kebahasaan pada umumnya, kecuali hanya
untuk menegaskan maknanya, atau untuk mentarjihkan makna yang sesuai dengan
maksud ayat.[12]
Ibnu Taimiyah mencurahkan
perhatian pada ikhtiar menemukan
solusi Al-Qur’an terhadap persoalan yang dihadapi di lingkungannya. Untuk itu
terkadang ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam Al-Qur’an mengenai
suatu persoalan tertentu dan menghadirkan sejumlah hadis yang menjelaskan
persoalan tersebut.
Dilanjutkan dengan
menyantumkan kutipan nash-nash dari ulama salaf dari kalangan sahabat dan
tabi’in yang diperlukan untuk mengupas tuntas persoalan tersebut. Metode penafsiran yang demikian, mendekati apa yang dewasa ini dikenal dengan tafsir
tahlily.[13]
Berkaitan dengan sumber
penafsiran, Ibn Taimiyah menyampaikan penolakannya terhadap para muawwil
(juru talwil), yang mentakwilkan Al-Qur’an, menyalahi makna Al-Qur’an itu
sendiri. Baginya mufassir atau muawwil Al-Qur’an itu statusnya
hanyalah sebagi juru bicara atau penyambung lidah (mutarjim) kepada
orang lain yang kurang atau tidak memahami makna Al-Qur’an.
Sebagai juru bicara, Ibn
Taimiyah mengingatkan mufassir tidak boleh beralih dari kedudukannya
menjadi mutakallim. Sebab, yang berkedudukan sebagai mutakallim
(pemilik firman) dalam Al-Qur’an ialah Allah swt.[14]
Sistematika Penulisan Kitab Al-Kabir
Tafsir al-Kabir karya Ibn Taimiyah ini, meskipun menggunakan metode tafsir tahlily,
namun yang disajikan dalam kitabnya, ia tidak menafsirkan ayat secara
keseluruhan, ia hanya menfsirkan ayat yang menurutnya memerlukan penafsiran.[15]
Dalam menafsirkan Al-Qur’an
terlebih dahulu diawali dengan ulasan Ibnu Taimiyah tentang kandugan surah
tersebut secara global. Ia mengawali tafsirnya
dengan menjelaskan nama-nama Al-Qur’an berdasarkan sebutan dalam Al-Qur’an.
Selanjutnya ia menafsirkan ayat-ayat yang perlu tambahan penjelasan. Dalam
kitab ini, sama dengan kebanyakan kitab tafsir lainnya, surah al-Fatihah adalah
surah yang yang menempati posisi pertama dalam kajian kitab Tafsir al-Kabir.[16]
Kajian tafsir sebuah surah al-Qur’an terlebih dahulu diawali dengan
ulasan Ibnu Taimiyah tentang kandugan surah tersebut secara global. Ia mengawali tafsirnya dengan menjelaskan nama-nama Al-Qur’an berdasarkan
sebutan dalam Al-Qur’an. Selanjutnya ia menafsirkan ayat-ayat yang perlu
tambahan penjelasan.
Ketika menafsirkan surat Al-Fatihah, ia mula-mula menjelaskan gambaran umum
surat tersebut dengan mengutip hadis Nabi saw riwayat Muslim, bahwa Allah swt
membagi Al-Fatihah untuk diri-Nya dan hamba-Nya.
Pembahasan selanjutnya dibagi-bagi dalam beberapa fasal, dengan mula-mula
difokuskan pada ayat yang dipandang sentral dalam surat itu, kemudian kembali
ke ayat yang permulaan, diikuti dengan fasal tauhid nububiyyah dan tauhid uluhiyyah.
Di situ dibahas hakikat manusia, keterbatasan manusia dan kehendak
Allah kepada hamba-Nya. Hal serupa juga ia terapkan dalam menafsirkan ayat
kedua, ketiga, keempat, dan selanjutnya.[17]
Namun tidak semua metode tersebut digunakan dalam semua penafsiran
surah. Seperti pada kajian surah an Nisa dan Ali Imran yang langsung apada
isinya. Selanjutnya Ibnu Taiiyah mengkaji ayat-ayat dalam surah tersebut,
menyebutkan urutan ayat, namun kadang tidak urut nomor ayatnya. Juga sebuah
ayat diberi ulasan secara utuh tanpa dipecah bagian ayatnya.
Hal ini dilakukan karena Ibnu Taimiyah tidak memandang apakah
apakah sebuah ayat yang ditafsirkan tersebut merupakan ayat yang panjang, lalu
dia hanya memberikan sedikit ulasan. Atau ayat tersebut merupakan ayat pendek
yang selanjutnya diterangkan secara panjang lebar serta detail. Pengulangan
sebuah tafsir dalam ayat kerap didapatkan dalam tafsir ini, karena dalam tafsir
ini dilihat dari berbagai sudut pandang.[18]
Contoh Penafsiran Kitab Tafsir
Al-Kabir
Ibnu Taimiyah ketika menafsirkan Q.S. al-Mu’minun [23]:17, Q.S. al-A’raf
[7]:6-7, dan Q.S. al-Baqarah [2]:3 dijadikan satu rumpun karena ayat yang satu
dengan yang lain saling menjelaskan. Ia membuat topik kajian pada 3 ayat
tersebut di atas dengan “makna ghaib dan syahadah”.[19]
Makna al-ghaib lebih lanjut, menurut ulama salaf diartikan Allah. Iman dengan yang al-ghaib berarti iman kepada Allah. Ulama mutakalimin seperti Abu Ya’la (al-Qadhi), Ibn ‘Aqil dan Abu Zaghuni
berpendapat bahwa al-ghaib adalah lawan dari al-syahid. Mereka menganggap al-ghaib adalah Allah.
Mengiyaskan al-ghaib dengan al-syahid dapat terjadi, tetapi harus
memenuhi norma, alasan, dalil, dan syarat, sebagaimana terjadi sifat-sifat al-‘ilmu, al-khibrah, al-iradah, dan lain-lain bagi Allah. Akan tetapi, Abu
Muhammad tidak setuju dengan pendapat ini karena Allah tidak dapat
disebut al-ghaib.[20]
Alasan yang
dikemukakan Ibn Taimiyah dari dua pendapat yang berbeda ini adalah karena
pemahaman yang keliru. Al-ghaib di sini mempunyai makna non-inderawi. Tidak seperti kita, jika salah seorang di antara kita tidak
ada, maka tidak dapat dilihat.
Bagi Allah
tidak demikian, Allah Maha Menyaksikan semua hamba, Maha Meneliti
dan Mengawasi. Bidang ini menyangkut keimanan yang harus dipercaya oleh mu’min. Lafal al-ghaib adalah isim fa’il dari ghaba – yaghiibu,
sedangkan al-ghaib adalah mashdar.
Mashdar
seperti ini banyak dipergunakan seperti lazimnya isim fa’il atau isim maf’ul. Ibnu
Taimiyah lebih lanjut mengkomparasikan antara makna al-ghaib dengan al-syahadah. Lafal al-syahadah adalah mashdar yang mempunyai makna al-masyhud al-syahid, sedangkan al-ghaib adalah al-maghib ‘anhu, yaitu sesuatu yang tidak dapat dilihat,
lawan dari al-syahadah.[21]
Ia kemudian menambah argumen bahwa pernyataan al-Qur’an tentang al-ghaib adalah sahih, lalu mencantumkan
Q.S. Saba [34]: 3 sebagai penguat.
Ibnu Taimiyah
dalam menafsirkan ayat di atas, memprioritaskan
makna ayat al-Qur’an dengan ayat lain sebagai ciri khas ma’tsur, kemudian
menyajikan beberapa pendapat mutakalimin, dan
meluruskan pendapat yang lemah, serta memperkuat pendapat yang lebih sahih,
untuk menjaga pemurnian pemahaman tersebut.
Penutup
Dalam pembahasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kitab tafsir al-Kabir
karya Ibn Taimiyyah dalam metode penulisannya menggunakan tahlily,
karena ia menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan
aspek yang terkandung di dalamnya, sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam
al-Qur’an Mushaf ‘Utsmani.
Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasinya menggunakan
sumber al-tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir dengan sumber ini menggunakan
prinsip penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lain, penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendapat Rasul, penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat
sahabat, dan penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in.
Mengenai latar belakang ideologi salafi yang digagas Ibn Taimiyah dalam
usaha memurnikan ajaran Islam yang pada saat itu telah banyak dipengaruhi oleh
keilmuan filsafat Yunani dan ajaran tasawuf, sehingga menurutnya banyak
mengalami penyimpangan.
Maka dalam usaha peurniannya, ia menafsirkan al-Qur’an yang menjadi sumber
utama ajaran umat Islam dengan bersandar pada dalil-dalil naqli yang dikontekstualisasikan
dengan keadaan sosial masytrakat pada saat itu, guna menanggulangi
masalah-masalah kemasyarakatan dengan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an.
[1] Ibid., jilid VII, hal. 594.
[2] Ibid., jilid II, hlm. 297.
[3] Ibid., jilid III, hlm. 107.
[4] Ibid., hlm 135.
[5] Ibid., hlm. 201.
[6] Ibid., hlm 235.
[7] Ibid., hlm. 240, 247, 250,
258, 263.
[8] Ibid., hlm 468.
[9] Ibid., jilid I, hlm. 5-11.
[10] Ibid.
[11] A. Rofiq (ed.), Studi Kitab
Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 88.
[12] Gaya bahasa yang digunakan dalam tafsirnya, menandakan bahwa Ibnu Taimiyah
sangat akrab dengan kehidupan, dia menganggkat ayat al-Qur’an keatas kehidupan
manusia yang terjadi di sekelilingnya. Hal itu dibuktikan oleh pengaruh
karyanya yang sangat mendalam `1`bagi kehidupan. Ia mencari dalil-dalil dari
ayat al-Qur’an, oleh sebab itu rahasia-rahasia tafsir yang ditinggalkannya
lebih dari 30 jilid, demikian kata muridnya. Seandainya kitab-kitab itu masih
ada, akan terkodifikasi
rahasia-rahasia tafsir yang berkualitas sebagai sumber refrensi dalam bidang
tafsir. Lihat Abu Hasan Ali
an-Nadwi, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah, terj. M. Qadirun Nu (Solo: CV,
Pustaka Mantiq, 1995) hlm. 134-135.
[13] Metode ini berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek yang melingkupinya, sesuai
dengan pandangan, kecendrungan, dan keinginan mufassirnya, yang dihidangkan
secara runtut sesuai dengan urutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang
dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosakata ayat, munasabah ayat, sababun
nuzul, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang ridak jarang
menghidangkan aneka pendapat ulama madzhab. Ada juga yang menambahkan uraian
tentang qiroat, i’rab ayat yag ditafsirkan, serta keistimewaan susunan
kata-katanya. Lihat Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera
Hati, 2013), hlm. 378-380.
[14] Sebagaimana dalam kitabnya ia juga
secara tegas menyangsikan penggunaan ra’yi dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka
kemudian ia menjelaskan bahwa ia hanya menafsirkan Al-Qur’an dengan
sumber-sumber riwayat dari Al-Qur’an itu sendiri, atau dengan hadis Nabi saw,
dan pendapat para sahabat dan tabiin. Lihat Muhammad Amin Suma, Ulumul
Qur’an, (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2014), hlm. 428.
[15] Muhammad, “Ibnu Taimiyah dan
Sistem Penafsirannya Terhadap al-Qur’an”. Dalam Jurnal Penelitian Agama, No.18
th. VII, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, Januari-April, 1998), hlm. 112.
[16] Namun uniknya Tafsir al-Kabir ini
menyajikan materi dalam bentuk pasal-pasal. Ibn Timiyah, Tafsir al-Kabir,
jilid II, hlm. 297.
[17] Ibn Taimiyah, Tafsir al-Kabir,
jilid II, hlm. 297-298.
[18] Ibid., jilid IV hlm.
11,22,23,27.
[19] Ibid., jilid III hlm. 15.
[20] Ibid., hlm. 16.
[21] Ibid., hlm. 16-17.