Kaidah Al-Tasalsul wa Al-Dawr Muhallani dalam Filsafat: Rentetan Sebab-Akibat yang Tak Berujung dan Kemustahilan
Kepoen.com-Kaidah Al-Tasalsul wa Al-Dawr Muhallani dalam Filsafat:
Rentetan Sebab-Akibat yang Tak Berujung dan Kemustahilan-al-tasalul berasal dari kata talsalsal yang artinya silsilah atau
rentetan sesuatu yang saling berantai (silsilah) disini tasalul yang dimaksud
itu penyebaban tanpa batas, jadi relasi sebab akibat itu apakah sebab butuh
sebab yang lain? Jika terus membutuhkan sebab maka ini dikatakan tidak
terhingga ini yang sebut tasalul dan itu tidak mungkin dalam filsafat, karena
jika terjadi penyebaban yang tak berujung (sebab yang tidak membutuhkan sebab) itu
sama saja dan itu tidak akan pernah akan terjadi akibat.
Misalnya A disebabkan oleh B, B jika menyebab C
maka harus ada sebab dari A, jika C menjadi penyebab D maka harus ada penyebab
dari B sampai setusnya, tergantungan sama aja tidak ada penyebaban, ini menjadi
argument dan alasan tasalul dan dawr menjadi rentetan yang tak terhingga.
Namun ada al-tasalul yang mungkin, menurut para
filsuf al-tasalul yang mungkin itu adalah angka walaupun itu tidak terhingga,
misalnya 1 karena 1,2,3 dan seterusnya itu adalah rentetan angka, dalam
matematika masih bisa diterima walaupun angka itu sebanyak-banyaknya tanpa
batas itulah yang disebut al-tasalul mungkin, manun ketika dilihat
secara sebab akibat itu jatuhnya kedalam al-tasalul tidak mungkin tadi,
jika kita lihat dari persfektif sebab akibat.
Angka bilangan itu pasti kembali ke angka 1
(pinsip dari angka) karena angka 1 sebab adanya 2 adanya 3 adanya 4 dan
seterusnya. Lalu ada setengah, setengah itu belum masuk kedalam angka, baru
disebut angka itu dari 1,2,3 dan seterusnya. Hanya akal dapat menganalisis
setengah atau 1.
Dalam filsafat terkait sebab dan akibat tasalul
itu tidak mungkin, yang ini akan dibahas dalam pertemuan kuliah ini kaidah al-tasalul wa al-dawr muhalani, tasalul
nanti banyak diterapkan dalam filsafat baik dalam ontology maupun epistemology,
misalnya dalam epistemology tentang pondasionalis berpijak pada kaidah tasalul
bahwa pengatahuan yang tidak membutuhkan pembuktian, karena itu sudah terbukti
dengan sendirinya. Itu menjadi pondasi-pondasi pengetahuan berikutnya.
Dalam hal ini tasalul di jadikan sebagai
sandaran dan membutikan keberadaan wajibul wujud, penelesain ini disebut juga
denga penyelesain ontology. Sebagaimana dalam kitab ini membahas bahwa kaidah
ini pembahas tentang ketidak mungkinan tasalul (rentetan) sebab-sebab ontology
(penciptan) atau tidak berujung.
Kaidah ini membahas tasalulu penyebaban yang
tidak berujung, yakni diantara kaidah yang banyak persoalan penting filsafat
disandarkan padanya atau yang berefek (diselesaikan). Dan diantara masalah
penting itu adalah membutikan keberadaan wajibul
wujud, para filsuf dengan cara menganalisis yang nyata, dimulai dari alam
ini yang mana alam ini ada sendiri atau diadakan, jika diadakan wujud itu tidak
bersifat wajib yang namanya wajib itu mengenal yang tidak ada, wujudnya itu
niscaya.
Dari mana para filsuf membutikan wajibul wujud
dari adanya realitas yang membutuhkan sebab (yang mana berawal dari
ketikadaan), maka harus ada wujud lain dan wujud lain itu pasti ada. Dari situ
para filsuf membagi keberadaan itu wajib dan mungkin.
Padangan ini bertentangan oleh para sofis di
masa yunani kuno yang meyakini manusia tidak ada kemampuan untuk menjangkau
alam realitas external (tidak ada), argument sederhana untuk membantahnya adalah manusia tidak dapat menjangkau
realitas external, tidak memiliki pengetahuan sama dengan tidak ada karena
adanya realitas extranal itu adanya pengakuan berdasar pada pengetahuan
manusia. Jadi ontologies bersandar para epistemology.
Jadi para kaum sofis dan kaum filsuf itu
berbeda, dimana kaum filsuf membuktikan keberadaan realitas external secara
niscaya, sehingga dari pembuktian itu teridentifikasi bahwa realitas itu paling
tidak ada dua menurut al-farabi sedangkan ibn Sinna menambah satu ada yang
mustahil, mustahil ini sebenarnya ada wajibul wujud, mungkinul wujud dan
musthail wujud (pengembangan).
Pada asumsi pertama wajibul wujud berdasarkan
pembuktian mungkinul wujud (sebab dari wajibul wujud), jika mungkin wujud dalam padangan tasasul
maka mungkin wujud akan melahirkan mungkinul wujud juga sampai tak terhingga
atau tak berujung.
Sebagaimana dalam filsafat karena al-tasalul dan wa al-dawr itu tidak mungkin dari segi
akal, al-tasalul dan wa al-dawr akan melazimkan ketidak
adanya penyebaban, karena sebab itu tergantung pada sebab-sebab sebelumnya,
jika masih saling tergantung maka tidak aka nada penyebaban baik al-tasalul dan wa
al-dawr, al-tasalul dan wa al-dawr dalam
filsafat pembuktian itu akan berakhir pada wajibul wujud.
Berdasarkan diatas jelas bahwa kita
harus membuktikan dahulu kemustahilan al-dawr melalui kemusthilan tasalul,
al-fabari bersandar dalam kaidah ini untuk membuktikan wajibul wujud, terkait
dengan kemustahilan al-tasalul wa
al-dawr, yakni bahwa persoalan-persoalan mungkinul wujud itu tidak boleh
menanjap (berlangsung terus) dalam relasi sebab akibat kepada hal yang tidak
memiliki ujung. Dan tidak boleh dawr, akan
tetapi itu harus berhenti di wajibul wujud (sebab utama).
Al-Tasalsul wa Al-Dawr Muhallani
menjadi salah satu perdebatan penting dalam dunia filsafat. Terdapat dua
pandangan utama terkait dengan kemungkinan atau ketidakmungkinan kaidah ini.
Pertama, para filsuf yang
memahami kaidah Al-Tasalsul wa Al-Dawr sebagai sesuatu yang mungkin berpendapat
bahwa ada entitas yang dapat membentuk rentetan tak terhingga atau hubungan
sebab-akibat yang berlanjut tanpa batas. Mereka memberikan contoh seperti angka
dalam matematika, yang meskipun tak terhingga, masih dapat diterima dalam
konteks matematis karena sifatnya yang abstrak.
Namun, pandangan kedua lebih
mendominasi dalam kalangan filsafat. Mereka percaya bahwa kaidah Al-Tasalsul wa
Al-Dawr tidak masuk akal dan tidak mungkin terjadi dalam realitas. Hal ini
disebabkan oleh alasan-alasan berikut:
- Ketergantungan yang Tak Berujung: Jika ada rentetan
tak terhingga dari sebab-akibat, maka setiap akibat tergantung pada sebab
sebelumnya, tanpa ada sebab akhir. Ini mengarah pada ketidakmungkinan
terjadinya akibat karena tidak ada sebab yang memulai rangkaian tersebut.
- Inkonsistensi Logika: Kaidah Al-Tasalsul wa Al-Dawr
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar logika dan menyebabkan
kontradiksi. Filsuf berargumen bahwa tidak mungkin terdapat rentetan tak
terhingga dari sebab-akibat dalam realitas.
- Pengakuan Wajibul Wujud: Penolakan terhadap kaidah
ini pada akhirnya mengakui adanya Wajibul Wujud atau entitas yang ada atas
dasar dirinya sendiri tanpa memerlukan sebab lain. Ini menjadi dasar
filosofis bagi eksistensi entitas yang ada secara mutlak.
Sebagai contoh, dalam pemikiran
filosofis Al-Farabi dan Ibnu Sina, mereka mengidentifikasi bahwa ada tiga jenis
keberadaan: Wajibul Wujud (entitas yang ada mutlak), Mungkinul Wujud (entitas
yang ada mungkin atau tidak) dan Mustahil Wujud (entitas yang tidak mungkin
ada). Kedua filsuf ini meyakini bahwa dari pembuktian Wajibul Wujud dapat
menolak kemungkinan rentetan tak terhingga yang bertentangan dengan logika.
Pemahaman ini memiliki implikasi
besar dalam pemikiran ontologi dan epistemologi, serta dalam memahami asal mula
eksistensi dan sumber pengetahuan.
Secara kesimpulan, kaidah
Al-Tasalsul wa Al-Dawr Muhallani membahas tentang kemungkinan adanya rentetan
tak terhingga dalam hubungan sebab-akibat. Meskipun ada pandangan yang
menyatakan bahwa hal itu mungkin terjadi, mayoritas filsuf berpendapat bahwa
kaidah ini tidak masuk akal dan bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.
Penolakan kaidah ini mengarah
pada pengakuan akan keberadaan Wajibul Wujud atau entitas yang ada mutlak tanpa
membutuhkan sebab lain. Diskusi tentang kaidah ini menjadi penting dalam
pengembangan filsafat dan mempengaruhi cara kita memahami realitas dan
pengetahuan.