Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Mitologi Roland Barthes

 Kepoen.com-Konsep Mitologi Roland Barthes-Berangkat dari kenyataan tentang adanya dua sistem tanda yang berlapis (konotasi dan metabahasa) dalam sebuah sistem, Barthes dalam hal ini mengembangkan konsep baru yang diambil dari sistem konotasi, yaitu adalah tentang mitos.

Mitos yang dimaksud dalam hal ini, bukan dalam konteks mitologi lama, yakni mitos yang mempunyai pengertian cerita fiktif, ilusi, angan-angan atau kepercayaan yang dibentuk oleh masyarakat pada masa lalu, akan tetapi mitos yang dimaksud adalah pesan atau tuturan yang harus diyakini kebenarannya, mitos yang memanfaatkan sistem tanda kedua yaitu sistem konotasi.

Dalam hal ini, Barthes memberikan terminologi tentang mitos sebagai jenis tuturan atau tipe wicara yang dapat terbentuk dari berbagai hal, dengan ketentuan disampaikan sebagai wacana, dan mitos tidak ditetapkan oleh obyek pesannya, tetapi oleh caranya menyatakan pesan.



Dengan demikian dapat dipahami bahwa mitos tidak hanya terjadi dalam bentuk tuturan oral saja, melainkan bisa juga dalam bentuk tulisan, fotografi, film, pertunjukan, lukisan atau apapun yang disampaikan dalam bentuk wacana. Dengan kata lain, paada dasarnya mitos adalah segala sesuatu yang mempunyai modus representasi.

Sistem tanda yang dipakai dalam mitos adalah sistem tanda tingkat kedua, yaitu sistem konotasi. Dalam artian, sedemikian rupa mitos telah membangun maknanya dengan mempermainkan sistem tanda bahasa (sitem tanda pertama/primer) dengan mengkaitkannya dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi, atau keyakinan.

Misalnya, tanda mawar sebagai sistem tanda pertama, “mawar” berarti juga mawar merah dengan tangkai yang berduri, sedangkan sistem tanda kedua “mawar” bisa berarti kasih sayang atau cinta. Dengan demikian mitos, tidak sekedar memiliki makna di tingkat primer/denotatif, melainkan juga menyembunyikan makna lain (makna mitis) atau disebut makna konotasinya yang bersifat implisit. Tanda bahasa (sistem tingkat pertama) yang terdiri dari kesatuan penanda dan petanda yang berubah hanya menjadi penanda dalam mitos, (sistem tanda tingkat kedua).

Penanda dalam sistem mitos kemudian menempati dua posisi yakni penuh dan kosong. Ketika pada posisi penuh, yakni penanda pada sistem bahasa, Barthes menyebutnya sebagai makna (meaning), dan disaat kosong yakni penanda pada sistem mitos disebut sebagai bentuk (form), sedangkan untuk petanda, Barthes tetap menyebutnya sebagai konsep karena tidak menimbulkan keambiguan.

Dalam hal ini konsep adalah elemen yang mengkonstitusikan mitos, jika ingin mengurai mitos, maka harus ditemukan konsepnya lebih dahulu. Dalam sistem mitos, penanda (signifier) bersifat ambigu, karena penanda itu sekaligus menjadi sebuah bentuk. Penanda ini memiliki realitas sensorik, di mana di dalamnya terdapat nilai tersendiri yang bersifat historis.

Ketika penanda menjadi sebuah makna, maka terbentuk suatu pemaknaan yang memenuhi dirinya sendiri, asalkan mitos tidak tergantung dan menjadikannya sebagai bentuk yang kosong dan parasitis. Kemudian saat menjadi bentuk, mitos meninggalkan kemungkinan makna yang mengitarinya sehingga menghasilkan kekosongan, kemiskinan, penguapan sejarah, dan yang disisakan hanyalah huruf-huruf.

Pada dasarnya, bentuk tidaklah menyembunyikan makna, hanya saja ia memiskinkan makna yang menempatkannya pada jarak tertentu, dan bentuk juga memiliki makna yang telah siap untuk digunakan. Pada intinya, makna tidak akan sirna, hanya saja menjaga dirinya dengan menggunakan bentuk dalam mitos, karena makna selalu ada untuk bentuk.

Konsep adalah petanda (signified) dari mitos yang bersifat historis sekaligus intensional. Konsep adalah suatu motivasi yang mengakibatkan terungkapnya mitos, tidak abstrak, dan digunakan sebagai alat menempatkan sejarah dalam mitos. Konsep memiliki suatu kecenderungan karena terkait dengan suatu fungsi, juga menampung penanda, akan tetapi lebih miskin dari penanda karena petanda kerap menghadirkan dirinya kembali. Bentuk dan konsep memiliki perbandingan terbalik dalam hal kekayaan dan kemiskinan makna.

to the qualitative proverty of the form, which is the repository of a rarefied meaning, there corresponds the richness of the concept if the open of the whole history; and to the quantitative abudance of the forms there corresponds a small number of concept (Mythologies: 118)

“kemiskinan bentuk secara kualitatif yang kandungan maknanya dikurangi sejalan dengan konsep yang memiliki keterbukaan terhadap sejarah, dan secara kualitatif bentuk sejalan dengan sedikitnya jumlah konsep.”

Pemaknaan (signification) menjadi sebuah tanda (sign) dalam semiologi Roland Barthes, yang merupakan gabungan dari penanda dan petanda (bentuk dan konsep) yang disampaikan secara utuh sesuai dengan fakta aktual. Untuk melangkah menuju pemaknaan, diperlukan refleksi antara bentuk dan konsep.

Pertama, yaitu memeriksa bahwa bentuk dan konsep benar-benar nyata dalam mitos. Tidak ada yang tersembunyi di antara keduanya sehingga mitos juga tidak menyembunyikan apapun, tujuannya adalah mendistorsi dan bukan untuk menghilangkan makna. Dalam linguistik, pemaknaan bersifat arbitrer, namun terbatas.

Sedangkan dalam mitos, pemakanaan tidak bersifat arbitrer, karena sebagian dari pemaknaan didorong oleh suatu motivasi yang mengakibatkan mitos mengandung analogi (antara makna dan bentuk yang termotivasi). Mitos merupakan sistem ideografis murni, di mana beberapa bentuknya masih termotivasi oleh konsep yang mereka hadirkan meskipun dalam jangka panjang belum mencakup kehadiran kemungkinan-kemungkinan lain.

Pembacaan sebuah mitos dikembalikan pada sifat awal mitos, yaitu sifat ganda penanda mitos. Penanda sebagai makna dan bentuk. Model pembacaan yang bertitik tolak pada sifat ganda ini, menghasilkan tiga tipe pembacaan mitos, pertama, pembacaan dengan titik tekan pada bentuk. Pembacaan ini membiarkan konsep mengisi bentuk mitos tanpa kerancuan, sebab bentuk merupakan penanda yang kosong.

Jika demikian, maka sistem penandaan yang dihasilkan akan kembali pada sistem penandaan yang sederhana yang bersifat literal lagi. Kedua, pembacaan dengan titik tekan pada makna. Tipe ini memandang penanda sebagai suatu yang penuh (makna), sehingga dia membedakan makna dari bentuk. Pembacaan seperti ini akan membatalkan penandaan mitis, kemudian akan menerima sistem mitis sebagai tipuan.

Ketiga, pembacaan dengan titik tekan pada keduanya. Penanda mitis dipandang secara utuh sebagai makna dan bentuk, sehingga di sini menerima penandaan yang ambigu. Pembacaan ini bersifat dinamis karena dia mengonsumsi mitos sesuai dengan tujuan struktur mitos itu sendiri, yaitu pembaca menghidupkan mitos sebagai cerita yang benar dan tidak realistis sekaligus.

Tipe ini diperuntukkan bagi mereka yang berjalan dari arah semiologi menuju ideologi. Apabila ingin menghubungkan skema mitis dengan sejarah, keterkaitan skema mitis dengan kepentingan masyarakat tertentu, maka dengan memandang penanda mitis sebagai makna maka terbentuklah jalannya.

 

-
-