Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Ideologi Salafi Ibnu Taimiyah, Apakah Seorang Ulama Wahabi?

Kepoen.com-Mengenal Ideologi Salafi Ibnu Taimiyah, Apakah Seorang Ulama Wahabi?-Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu.

Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari para muhadditsin dan lainnya. Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, di antaranya adalah:

Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antromorfisme). Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada antromorfisme dalam membentuk sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus dipahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebagainya. [1]




W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang pesat di Baghdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali.

Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan Damaskus. Di Damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak.

Di antara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama’ besar penganut imam Hanbali yang ketat.[2] Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara tidak merata.[3]

Berbekal kematangan pengetahuan sejak usianya masih 17 tahun, membuat Ibnu Taimiyah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.

Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya.

Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antromorfisme sehingga pada awal 1306 M Ibn Taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.[4]

Sebagai salah seorang tokoh besar dalam mazhab Hanbali, doktrin-doktrin keagamaan yang digunakan Ibnu Taimiyah banyak melanjutkan pandangan dan perspektif Imam Ahmad bin Hanbal yang dalam kalangan ulama Fiqih digolongkan sebagai Imam Mutasyaddidin (pemimpin kaum Fundamentalis).

Dalam fatwa-fatwa keagamaannya, kelompok ini mendasarkan diri kepada Al-Qur’an, Sunnah (hadis), dan fatwa para generasi salaf dengan pendekatan tekstual, karena itulah kemudian ia disebut sebagai penganut Islam Salafi. 

Ibnu Taimiyah dikenal publik sebagai pemimpin yang sering menyerang praktik-praktik keagamaan masyarakat  Muslim yang tidak dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Ia menganggapnya sebagai bid’ah yang dimaknai sebagai kesesatan, seperti ziarah kubur, perayaan maulid nabi, dan sejenisnya.

Ia juga menyerang praktik tawassul kepada orang suci (wali) yang disebutnya sebagai praktik menyekutukan Tuhan atau musyrik.[5] Cara pandang keagamaan literalis ketat dan fundamentalistik ini belakangan diikuti oleh syekh Muhammad bin Abd al-Wahab (1703-1791) dari Nejd, Saudi Arabia, yang kemudian para pengikutnya disebut kaum Wahabi, namun belakangan mereka lebih suka disebut ‘Golongan Salafi’.[6]

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah:[7]

1) Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:

a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.

b. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.

c. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.

d. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.

2) Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.

3) Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:

a. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/tekstual)

b. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)

c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)

d. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)

e. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).[8]

Berdasarkan alasan di atas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.

Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:

1) Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.

2) Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.

3) Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.

Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[9]

 

Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak.

 

Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[10]

 

 



[1] Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 101- 102.

[2] Abdur Razak, dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), hlm 109.

[3] Ibid., hlm. 110.

[4] Ibid., hlm. 115.

[5] Terdapat sebuah pandangan dari seorang ahli Hadis, yakni Al-‘Alamah Muhaddits al-‘Ashr al-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki mengenai isu tawassul dalam pandangan Ibnu Taimiyah yang tidak dipahami oleh para pengikutnya. Pemaparannya dalam kitab Mafahim Yajib al-Tushahhah ia katakan untuk memberikan klarifikasi atas kesalah pahaman Ibnu Taimiyah terhadap pandangan-pandangan sang Imam. Lihat Husein Muhammad, Memilih Jomblo, (Yogyakarta: Zora Book, 2015), hlm. 72-78.

[6] Ibid.

[7] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hlm. 58-60.

 

[8] Abdur Razak, dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, hlm. 115.

[9] Ibid., hlm. 117.

[10] Mustopa, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: IAIN Publisher, 2011), hlm. 58.

-
-