Mengenal Sayyed Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Muhammad bin Mirza Ali Asyghar at-Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi
Kepoen.com-Mengenal Sayyed Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Muhammad bin Mirza Ali Asyghar at-Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi-Seiring dengan berkembangnya peradaban dan budaya manusia, kajian penafsiran terhadap al-Qur’an mengalami berbagai tingkat perbedaan.
Dengan kesadaran seperti ini maka sudah barang tentu muncul adanya bermacam-macam produk tafsir terhadap al-Qur’an, oleh karena itu tidak perlu mensakralkan produk-produk penafsiran masa lalu yang terkadang sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang.
Sebab, bagaimanapun adanya problem, lokalitas, situasi budaya dan
kultur yang dihadapi era klasik juga ikut mewarnai model dan cara mereka dalam
memahami al-Qur’an yang sudah barang tentu berbeda dengan problem, tantangan
dan situasi yang sedang di hadapi.[1]
Sebagaimana situasi yang terjadi pada masa revolusi ilmu pengetahuan di dunia Islam, khususnya di Iran. Pada masa masuknya modernisme di Iran yang sangat mempengaruhi masyarakat Islam tak terkecuali pada dunia pendidikan.
Maka dari itu, salah seorang pemikir kontemporer, Husain Thabathab`i, ingin menghidupkan kembali keilmuan Islam tradisional. Maka dari itu, Husain Thabathaba`i mencurahkan kemampuannya untuk menulis kitab tafsir al-Qur`an agar dijadikan rujukan untuk mempelajari ilmu agama.[2]
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji mengenai penafsiran dari Husain Thabathaba`i[3] dengan judul kitab al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, dengan mempelajari dari latar belakang dan metodologi penulisan tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, serta sedikit contoh tafsirannya
Biografi Sayyed Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Muhammad bin Mirza Ali Asyghar at-Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi
Beliau bernama lengkap Sayyed Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Muhammad bin Mirza Ali Asyghar at-Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi. Lahir sekitar tahun 1892 M di Azerbaijani, sebutan dari kota Tabriz, sebuah kawasan di sebelah barat laut Iran.
Thabathaba’i[4] dilahirkan dari lingkungan keluarga ulama yang masih keturunan Nabi Muhammad, yang selama empat generasi telah melahirkan ulama-ulama terkemuka di Tabriz, beliau ditinggal mati ibunya sejak masih berumur lima tahun, yang kemudian disusul oleh ayahandanya ketika ia masih berusia Sembilan tahun.
Setelah orang tuanya meninggal ia diasuh oleh pembantu keluarganya, walau menyandang yatim piatu keluarga besarnya tetap menjunjung tinggi ilmu pengetahuan untuk dirinya.[5] Beliau mulai belajar al-Quran mulai dari tahun 1911-1917.
Pada Tahun 1911 sampai 1917, beliau mulai belajar al-Quran. Selama tujuh tahun (1918-1925), ia mulai mempelajari bahasa Arab, melakukan kajian ajaran Islam, dan teks-teks klasik agama Islam yang seluruhnya ia habiskan di kota kelahirannya, Tabriz.
Pada tahun 1925, Ia menempuh pendidikan formalnya di Universitas Syi’ah Najaf Qum, di bawah pengajaran para guru besarnya seperti Mirza ‘Ali Qadi (dalam bidang Gnosis atau irfan), Mirza Muhammad Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani (dalam bidang fiqih dan syari’ah).
Sayyed Abu al-Qasim Khawansari (dalam ilmu matematik), sebagaimana ia juga belajar standar teks pada buku as-Shifa karya Ibn Sina, The Asfar milik Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid al-Qawa’id milik ibn Turkah, dengan Sayyid Husain Badkuba’i, dan ia sendiri adalah murid dari dua guru kondang pada masa itu, Sayyid Abu al-Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zinuni.[6]
Namun perjalanan pendidikanya tidaklah berjalan mulus, karena pada tahun 1935, Thaba’thaba’I mengalami kesulitan ekonomi yang memaksanya harus kembali ke Najef untuk memenuhi kehidupan ekonominya dengan bertani, sampai kira-kira 10 tahun, baru ditahun 1946 beliau kembali lagi ke Qum[7] untuk menggeluti kembali kehidupan keilmuan yang telah lama beliau tinggalkan.[8] Akhirnya beliau wafat pada tahun 1981 dan di makamkan di Qum.
Setting Sosio-Historis Husain Thabathaba`i.
Iran merupakan salah satu negara dengan peradaban panjang dan tertua di dunia, yaitu sekitar 2700 S.M, dengan bukti ditemukannya manusia di masa lampau. Iran yang dahulu bernama Persia merupakan salah satu kawasan tempat bersemainya peradaban pertama umat manusia.[9]
Dari situlah sangat wajar jika sejak dahulu hingga masa Husain Thabathaba`i[10] terjadi kontak atau hubungan yang intensif antar ilmuan. Semangat itulah yang diwarisi Husain Thabathaba`i, sehingga ia sangat terbuka dan mengedepankan sikap moderat dengan cara menyerap sumber informasi pengetahuan.
Semasa hidup Husain Thabathaba`i, ternyata ia mengalami dinamika hubungan antara ulama dan penguasa yang tidak stabil, selain itu, ia juga mengalami tekanan ekonomi yang berat, sebagai akibat dari modernisasi yang tidak berpihak pada rakyat kecil dan sekularisasi dalam berbagai bidang kehidupan termasuk dalam hal pendidikan.
Salah satu akibatnya yaitu, tradisi keilmuan tradisional yang selama ini telah mengakar di Iran menjadi terabaikan bahkan dihilangkan. Selain itu, Husain Thabathaba`i juga melihat dan mengalami ketika orang-orang Barat Kristen masuk dan menjajah Iran serta mempengaruhi pola berpikir masyarakat Iran, bahkan mengubah pola hidup masyarakat pula.[11]
Dari situlah Thabathaba`i ingin mengembalikan keilmuan tradisional untuk
melawan Barat dengan modernisnya.
Guru
Thabathaba’i
Adapun guru-guru besarnya sebagaimana di bawah:
a.
Mirza ‘Ali Qadi dalam bidang Gnosis atau irfan,
b.
Mirza Muhammad Husain Na’ini dan Syeikh Muhammad Husain Isfahani
dalam bidang fiqih dan syari’ah,
c.
Sayyed Abu al-Qasim Khawansari dalam ilmu matematik,
d.
Dan pada Sayyid Husain Badkuba’i ia belajar standar teks pada buku as-Shifa
karya Ibn Sina, The Asfar milik Sadr al-Din Shirazi, dan kitab Tamhid
al-Qawa’id milik ibn Turkah,
e.
Thabathaba’i adalah murid dari dua guru kondang pada masa itu,
Sayyid Abu al-Hasan Jilwah dan Aqa’ ‘Ali Mudarris Zinuni.[12]
Karya karya
Thaba’thaba’I
Diantara karya-karya
Thaba’thaba’I :
- Beberapa yang ditulis ketika belajar di Najef:
a. Resale Dar Borban (Risalah tentang
penalaran)
b. Resale dar Moghalata (Risalah tentang
sofistri)
c. Resale dar Tahlil (Risalah tentang
sofistri)
- Beberapa karya yang ditulis ketika tinggal di
Tabriz:
a. Resale dar asma’ va Safat (Risalah
tentang Asma’ dan sifat-sifat)
b. Resale dar Ensan qobl al-Donya (Risalah tentang manusia sebelum kehidupan dunia)
- Beberapa Karya yang ditulis di Qum:
a. Tafsir al-Mizan
b. Ushul Falsafe
c. Kifayat al-Ushul
d. Dll.
[1] Abdul Mustaqim, Dinamika
Sejarah Tafsir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 1.
[2] Waryono Abdul Ghofur, Millah
Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran (Jogjakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 63-65.
[3]
Seorang Seorang ulama besar sekaligus pemikir yang sangat banyak
distribusinya terhadap perkembangan keilmuan di dunia Islam dan mengabdikan
dirinya untuk mempelajari ilmu agama, serta memiliki beberapa karya yaitu Risalah
fil Burban, Risalah fil Mughalatah, Risalah fit Tahlil, Risalah fil Asma’ wa
Shifat, Risalah fil ‘Af’al, Risalah fit Tarkib, Risalah fil ‘I’jaz, Risalah fil
Wahyi, Risalah fil Insan Qablad Dunya, Risalah fil Musytaqat, al-Mar’ah fil
Islam, Ushushul Falsafah. Karya-karya
tersebut ditulis di tiga temapt yaitu Tabriz, Najaf dan Qum. Namun, karyanya
yang paling monumental yaitu al-Mizan. Kitab ini merupakan salah satu
kitab rujukan di era kontemporer. Lihat, Allamah Sayyid Muhammad Husain
Thaba’thaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Muassasah
al-A’lami lil Mathbu’at, 1997), Jilid I, hlm. D. lihat juga Sayyid Muhammad Ali
Iyazi, al-Mufassirun: Khayatuhum Wa Manhajuhum, (Kairo: Dar al-Kutub
al-Haditsah, t.t), hlm. 704, serta
bandingkan dengan Allamah Sayyid
Muhammad Husain Thabathaba’i, Tafsir al-Bayan fi al-Muwafiqti baina
al-Hadits wa al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ta’arif al-Mathbu’ah, 2006), hlm.
24. Shahrough Akhavi, “Reflection on a Decade of Scholarship on the Iranian
Revolution: Background to Two Recent Perpspectives in the Literature: Rewiew
Article”, Middle East Journal, Vol. 43, No.3, 1989, hlm. 293.
[4] Nama Thabathaba`i sendiri
merupakan laqab bagi salah satu kakeknya, yaitu Ibrahim Thabathaba`i bin
Ismail ad-Dibaji. Laqab tersebut diberikan oleh ayah Thabathaba`i
kepadanya, yang berarti, ia adalah penghulu para sayyid atau keturunan Nabi
Muhammad. Lihat Waryono Abdul Ghofur, Millah Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi
Tafsir Al-Quran (Jogjakarta:
Sukses Offset, 2008), hlm. 54-55. Lihat pula, ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain
Thabathaba’i, Inilah Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), hlm. 7.
[5] Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Depok :
LSiQ, 2013 ), hlm. 185. Lihat juga Waryono Abdul
Ghofur, Millah Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, hlm. 54-55.
[6] Ali al-Awsi, At-Thabathaba’i wa
Manhajuhu fi Tafsiruhu al-Mizan, (Teheran: Mu’awaniyah al-Riasah lil’alaqat
al-Daulah, 1985), 44. Lihat juga Khudhair Ja’far, Tafsir al-Qur’an bi
al-Qur’an Inda al-Allamah al-Thabathaba’i, (Qum: Dar al-Qur’an al-Karim,
1411 H), 10.
[7] Qum adalah sebuah kota di
Iran yang mendapat julukan Kota Sejuta Ulama karena kota ini menjadi pusat
kegiatan agama dan intelektual bahkan melahirkan ulama-ulama seperti
at-Thabarsyi, at-Thusi, al-Bahrain, Ali Iyazi dan lain-lain. Selain itu di kota ini Husain Thabathaba`i semangat keilmuannya bergairah kembali. Selain itu ia meneruskan
kajiannya terhadap ilmu-ilmu yang ia tekuni, tetapi juga semakin intensif
mengajar. Di tempat ini pula Husain
Thabathaba’i dimakamkan. Lihat Waryono Abdul Ghofur, Millah
Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, hlm. 59 & 70.
[8] Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Hal, 186.
[9] Persia pada waktu itu menjadi
salah satu kekuatan dunia, selain Romawi. Kekaisaran Persia pada waktu itu
didirikan oleh Sirus Agung, yang berasal dari suku Akaemenia pada abad ke 6
S.M, wilayahnya meliputi hampir seluruh Mediterania Timur, termasuk Babilonia,
Suriah, Tunisia, Mesir dan lembah Indus, maka kuat dugaan bahwa Zarathustra (628-551 S.M), pendiri agama Zoroaster abad ke
6, hidup pada masa Sirus Agung ini. Lihat Waryono Abdul Ghofur, Millah
Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qura, hlm. 363, Paul Sprachman,, ” Publication in Persian”, Jurnal Qur’anian
Studies, Vol. 18. No.1. 1985, hlm. 119.
[10] Husain Thabathaba`i
adalah Seorang ulama yang lahir di Tabris pada
tahun 1321 H bertepatan dengan 1892 M di desa Shadegan, profinsi Tibris atau Tabris, sebuah kawasan di sebelah barat laut
Iran, Provinsi Tabris ini pernah menjadi ibu kota pada masa Dinasti Safawi. Nama Thabathaba`i sendiri
merupakan laqab bagi salah satu kakeknya, yaitu Ibrahim Thabathaba`i bin
Ismail ad-Dibaji. Laqab tersebut diberikan oleh ayah Thabathaba`i
kepadanya, yang berarti, ia adalah penghulu para sayyid atau keturunan Nabi
Muhammad.
Husain Thabathaba`i dilahirkan dari lingkungan keluarga ulama yang
masih keturunan Nabi Muhammad, yang selama empat generasi telah melahirkan
ulama-ulama terkemuka di Tabriz, ia ditinggal mati ibunya sejak masih berumur lima
tahun, yang kemudian disusul oleh ayahandanya ketika ia masih berusia sembilan tahun. Setelah orang tuanya meninggal ia diasuh oleh pembantu keluarganya, walau menyandang yatim
piatu keluarga besarnya tetap menjunjung tinggi ilmu pengetahuan untuk dirinya.
Lihat ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain
Thabathaba’i, Inilah Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2011), hlm. 1. Lihat
pula, Waryono Abdul Ghofur, Millah Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi Tafsir
Al-Quran, hlm. 54-55., Allamah Sayyid Muhammad Husain
Thabathaba’i, Shi’ite Islam, (Amerika: University of New York, 1975),
hlm. 22. Khairunnas Jamal, “Pengaruh Pemikiran Husain Thabathaba’i dalam Tafsir
al-Mishbah”, Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII No. 2, Juli 2011, hlm.
205.
[11] Husain Thabathaba`i juga berhubungan dengan ilmuan Barat yang tertarik kepadaq keilmuan
tradisional Islam. Sehingga ia mengenal Barat dan Kristen dalam “dua wajah”
yang saling kontradiktif. Bahkan dalam internal kaum ulama sendiri, Husain
Thabathaba’i juga menjumpai ketidak harmonisan antara ulama yang mengembangkan
ilmu naqliyyah dengan ‘aqliyyah. Lihat, Waryono Abdul Ghofur, Millah Ibrahim: Dalam Al-Mizan Fi Tafsir
Al-Quran, hlm. 384.
[12] Ali al-Awsi, At-Thabathaba’i
wa Manhajuhu fi Tafsiruhu al-Mizan (Teheran: Mu’awaniyah al-Riasah
lil’alaqat al-Daulah, 1985), 44. Lihat juga Khudhair Ja’far, Tafsir
al-Qur’an bi al-Qur’an Inda al-Allamah al-Thabathaba’i (Qum: Dar al-Qur’an
al-Karim, 1411 H), hlm. 10.